Jakarta – Beberapa minggu setelah kecelakaan pesawat Lion Air JT 610, masih banyak pernyataan yang belum terjawab.
Banyak pertanyaan ditujukan kepada Boeing, Rabu (14/11), terutama mengenai kegagalan perusahaan tersebut memberi tahu maskapai penerbangan dan para pilot tentang perubahan sistem yang mencegah kehilangan daya angkat (anti-stall system) yang diduga menjadi penyebab kecelakaan pesawat Lion Air bulan lalu, kantor berita AFP melaporkan.
Penyelidik memeriksa apakah sistem, yang mencegah agar pesawat tidak kehilangan daya angkat, terkait dengan jatuhnya pesawat Lion Air nahas itu.
Boeing 737-MAX yang dioperasikan Lion Air itu jatuh di Laut Jawa pada 29 Oktober, dan menewaskan seluruh 189 penumpang dan awak pesawat.
Mesin jet menengah yang dipasang di pesawat Boeing jenis tersebut, lebih berat daripada jenis Boeing sebelumnya. Artinya, pesawat dapat mengalami kekurangan daya naik dalam kondisi yang berbeda.
Boeing memodifikasi sistem anti-stall tanpa menginformasikan pilot dan kru, menurut Asosiasi Gabungan Pilot (Allied Pilots Association atau APA) seperti yang dilaporkan kantor berita AFP.
“Kami seharusnya diberi tahu,” kata juru bicara APA, Dennis Tajer. “Ini konyol.”
“Bagaimana hal ini dapat terjadi harus dapat diselesaikan,” kata Tajer, yang juga merupakan pilot 737. “Boeing harus menjawab hal tersebut.”
Gagal dalam menginformasikan hal-hal yang penting seperti ini berarti telah melanggar “budaya keselamatan” penerbangan dunia, kata Tajer menegaskan.
Boeing tidak memberi tanggapan atas permintaan komentar dari AFP. Pada Selasa (13/11), produsen pesawat mengatakan bahwa mereka sedang fokus menyelidiki kasus tersebut bersama tim penyelidik.
Dalam suratnya kepada pilot pada 10 November, APA mengatakan bahwa “Emergency Airworthiness Directive” dari Boeing, belum menjawab pertanyaan kunci mengenai bagaimana menanggapi data yang salah dari sensor “Angle of Attack,” yang membantu memonitor sudut hidung pesawat.
Angle of Attack (AOA) “mungkin menjadi sistem penyebab dalam kecelakaan Lion Air,” kata Mike Michaelis, ketua Komite Keselamatan APA, dalam surat tersebut.
“Kesadaran adalah kunci dari seluruh isu keselamatan,” katanya.
Menukik, bukan Naik
Pada kasus ini, hilangnya fungsi AOA dapat menyebabkan komputer pesawat salah mendeteksi kehilangan daya naik dan mengarahkan pesawat untuk turun, padahal seharusnya naik.
APA mengatakan bahwa pilot seharusnya dapat mengambil alih dan menyelamatkan pesawat.
“Kami tidak yakin Boeing secara sengaja menghilangkan informasi dari para operatornya atau pelanggannya mengenai sistem penting pesawat mereka,” kata ahli penerbangan, Addison Schonland, seperti dikutip AFP.
Tidak berfungsinya indikator kecepatan pesawat telah terekam saat penerbangan, kata Schonland menambahkan.
Menurut Richard Aboulafia, wakil presiden analisis dari Teal Group, ada kemungkinan Boeing meremehkan isu tersebut, karena beranggapan isunya terlalu kecil untuk diberitahukan.
Seorang pilot yang tidak ingin diungkap identitasnya mengatakan produsen seperti Boeing dan Airbus menyarankan hanya beberapa hari pelatihan untuk pesawat model baru seperti 737-MAX.
Hal ini dikarenakan lingkungan pilot bekerja dan filosofi yang tidak berubah, kata pilot itu menambahkan. Dia juga menambahkan bahwa 737-MAX hanya memiliki 2 sensor bukan 3, seperti saingannya Airbus A320.
Seorang pilot Amerika yang juga tidak ingin diungkap identitasnya mengatakan idealnya sebuah pesawat memiliki lebih dari 1 sensor untuk menunjukkan pesawat dalam kondisi stall sebelum bereaksi.
Sejauh ini, hanya data penerbangan (FDR) dalam kotak hitam Lion Air JT610 yang berhasil ditemukan. Perekam percakapan di kokpit (CVR) yang dapat memberikan jawaban akan kejadian tersebut. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia