Bali – Barangkali, tidak ada pejabat tinggi di Indonesia yang memiliki pengalaman menangani bencana alam selengkap Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tahun 2004, ketika Indonesia mengalami bencana terbesar dalam sejarah modern, yaitu tsunami Aceh, dia menjabat sebagai wakil presiden.
Dua tahun kemudian, masih pada jabatan yang sama dia terlibat dalam penanganan gempa Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa Tengah. Setelah itu dia menjadi Ketua Umum PMI yang mau tak mau terlibat juga dalam penanganan bencana. Kini, duduk di posisi wakil presiden, dia kembali diserahi tugas penanganan bencana gempa dan tsunami Sulawesi Tengah.
Karena itulah, Jusuf Kalla begitu fasih berbicara mengenai penanganan bencana. Seperti yang dilakukannya Rabu (10/10/2018), dalam forum pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali, Jusuf Kalla memastikan bahwa kerja sama internasional sangat dibutuhkan dalam penanganan bencana. Lebih dari itu, skema pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang baru perlu dipikirkan. Dia berbicara mengenai asuransi kebencanaan yang belum populer di Indonesia.
“Masalah yang kita hadapi, khususnya pengalaman Indonesia, apabila ada bencana, semua biaya rehabilitasi dan rekonstruksi dibiayai APBN, maka negara kesulitan untuk mempersiapkan segala-galanya. Bencana terbesar dalam sejarah modern Indonesia adalah tsunami Aceh. Kita berterimakasih, tanpa keterlibatan PBB dan Bank Dunia, bencana di Aceh tidak bisa diselesaikan dengan baik seperti saat ini,” jelas Wapres Jusuf Kalla.
Bencana Bebani Anggaran
Jusuf Kalla ingat, hanya dua minggu setelah tsunami menerjang Aceh, Bank Dunia menggelar pertemuan puncak di Jakarta. Pertemuan itu membawa dana bantuan dari sejumlah negara dan lembaga internasional. Pemerintah kemudian membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh.
Dalam bencana di Sulawesi Tengah, ada lebih dari 2 ribu sekolah, ratusan jembatan, dan lebih dari 60 ribu rumah harus dibangun kembali dengan dana pemerintah pusat. Karena itulah, Kalla memandang penting asuransi bencana digalakkan di Indonesia.
“Memang tidak mudah. Selama ini aset negara dibuat tanpa perlindungan resiko akibat bencana. Kalau jembatan rusak, gedung pemerintah rusak, ya diganti saja. Semua jadi beban APBN. Tentu kita tidak mau semua jadi beban APBN. Harus dibicarakan bagaimana partisipasi masyarakat, dan bagaimana aset negara dapat diasuransikan,” tambah Kalla.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengakui bencana bisa mengubah anggaran negara yang telah direncanakan sebelumnya.
“Semua sangat tergantung pada alokasi anggaran, kadang harus memindah dana dari pos yang kurang penting ke yang lebih darurat. Dan dalam pendekatan ini, pemerintah pusat dan daerah menutupi semua kebutuhan anggaran. Namun, pemerintah daerah biasanya banyak tergantung pada bantuan pemerintah pusat. Ini menjadi beban anggaran nasional,” jelasnya.
Sri Mulyani mengeluhkan kesadaran berasuransi yang masih sangat rendah di Indonesia. Dampaknya, semua tergantung pada bantuan pemerintah dalam program terkait rehabilitasi dan rekonstruksi. “Menjadi pelajaran sangat penting bagi kita untuk meningkatkan persiapan dan kemampuan kita untuk menangani bencana. Kita punya profil bencana dalam berbagai bentuk. Kita harus mengidentifikasi resiko bencana dan bagaimana konsekuensi keuangannya,” tambah Sri Mulyani.
Indonesia Berpengalaman
Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim mengapresiasi pengalaman Indonesia dalam penanganan bencana.
“Indonesia adalah negara yang benar-benar tangguh. Meskipun telah beberapa kali mengalami bencana, Indonesia terus menerus melakukan apa yang bisa dilakukan untuk selalu di depan dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana semacam ini. Dan ini adalah pekerjaan yang sangat rumit dan sulit, khususnya karena Indonesia berada dalam posisi geografis seperti ini,” kata Jim Yong Kim.
Kim memaparkan beberapa hal yang bisa dijadikan contoh dari Indonesia, di antaranya adalah pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam bencana gempa DIY-Jateng tahun 2006, Indonesia membentuk program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak). Kim memuji skema ini karena menempatkan korban gempa sebagai pusat dari upaya rekonstruksi.
Rumah yang dibangun dalam skema Rekompak, memenuhi syarat teknis dari pemerintah tetapi juga memberi ruang bagi korban untuk membangun rumah sesuai keinginan mereka. Penggunaan bahan bangunan bekas rumah lama dan keterlibatan langsung korban, mampu menekan biaya hingga 30 persen tanpa mengurangi kualitas. Skema ini kini coba diperkenalkan ke berbagai negara yang mengalami bencana.
Kim juga memaparkan Southeast Asia Disaster Risk Insurance Facility (SEADRIF). Skema ini disepakati Menteri Keuangan negara-negara ASEAN dan tiga negara lain, yaitu China, Jepang dan Korea. “Program SEADRIF mengembangkan instrumen keuangan termasuk asuransi aset publik, pertukaran teknologi, dan memobilisasi bantuan teknis. SEADRIF juga mendorong pemanfaatan teknologi, seperti kerja sama dengan European Space Agency untuk memperkirakan dampak banjir secara real time, untuk membantu pengambilan keputusan,” papar Kim.
The New Palu
Berbicara dalam forum yang sama, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono memaparkan strategi Build Back Better. Ini adalah skema pembangunan kembali secara lebih baik yang diterapkan pemerintah Indonesia. Skema ini akan dilakukan dalam penanganan bencana tsunami di Palu. Pemerintah akan melakukan perubahan perencanaan kawasan, dengan mempertimbangkan resiko bencana yang ada. Basuki menyebut ini sebagai “The New Palu”.
“Build back better. Tidak hanya membangun ulang apa yang sudah rusak. Kita harus membuat masterplan untuk membangun Palu yang baru. Tidak hanya sekadar membangun kembali dari kerusakan yang ada. Tetapi juga meningkatkan ketangguhan masyarakat dan kesiapan menghadapi bencana,” kata Basuki Hadimuljono.
Basuki juga mendorong peningkatan kerja sama antarnegara. Ini penting karena bencana di satu wilayah akan berdampak ke wilayah lain. Dalam sepuluh tahun terakhir, kerugian yang timbul sebagai dampak bencana diperkirakan mencapai 1,4 trilyun dolar AS. Bencana-bencana terkait air, tercatat mencapai hampir 90 persen dari bencana di seluruh dunia.
Banyak wilayah telah memiliki perjanjian regional untuk kebencanaan. Namun, Basuki mengkritik karena hampir 90 persen dari kesepakatan antarnegara dilakukan dalam upaya penanganan kondisi darurat setelah bencana, seperti rekonstruksi dan rehabilitasi, sementara upaya terkait pengurangan bencana dan kesiapsiagaan hanya 10 persen. Indonesia mendorong perubahan persentase itu, karena memandang mitigasi bencana jauh lebih penting. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia