NTT – Empat bulan tanpa aktivitas pariwisata sudah sangat menyusahkan bagi Ihsan Abdul Amir, pelaku wisata di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mayoritas warga kembali ke aktivitas lama sebelum pulau ini populer sebagai destinasi, yaitu menjadi nelayan. Pendapatan sebagai nelayan, kata Ihsan, hanya sekitar seperlima dibanding sebagai pelaku wisata. Namun aktivitas itu tetap harus dijalani karena mereka harus mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga.
“Pada saat penutupan Taman Nasional Komodo, di situlah masyarakat mulai tidak tahu lagi harus ke mana mencari uang dan menjalankan pekerjaan terdahulu yaitu nelayan,” tutur Ihsan.
Pulau Komodo adalah kawasan konservasi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang ditutup dari kegiatan wisata pada 16 Maret. Pasca wacana kelaziman baru, pemerintah membuka kembali kawasan wisata ini.
Ihsan pun meminta perhatian lebih terkait penerapan protokol kesehatan. Di satu sisi, mereka terjepit kondisi ekonomi, tetapi di sisi lain juga tidak mau pembukaan akses wisata membawa penularan virus corona.
“Karena corona ini kan penyakit yang ditakutkan, kalau bisa pihak Taman Nasional, pemerintah pusat dan provinsi melakukan edukasi, karena wisatawan nantinya turun, sasarannya ke pedesaan yang ada di wilayah konservasi yaitu Komodo, Rinca dan lain-lain,” tambah Ihsan.
Pemerintah Janjikan Protokol Ketat
KLHK membuka kembali 29 kawasan konservasi dan taman wisata alam pada 22 Juni 2020. Salah satu pertimbangannya adalah karena BNPB menyebut wisata alam relatif aman dari potensi penularan virus corona. KLHK juga melihat, ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi perlu dibangkitkan dan kondisi psikologis mereka harus dipulihkan.
Julianti Siregar dari KLHK menyebut, wisata alam yang dibuka hanya yang berada di zona hijau dan kuning virus corona yang menandakan tidak ada atau kecil resiko penularan. Protokol diterapkan sangat ketat, dan setiap hari ada laporan pemantauan yang dikirim ke menteri.
“Kita tidak mau terjadi gelombang kedua, dan kita tidak mau ada tuduhan Taman Wisata Alam berkontribusi dalam penyebaran kembali Covid-19. Apa yang dilakukan untuk reaktivasi, kita menyiapkan semua SOP baru yang mengikuti protokol kesehatan.
Juianti Siregar berbicara dalam webinar Ekowisata Pasca Pandemi yang diselenggarakan Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta pada Rabu (8/7). Turut menjadi pembicara adalah Dekan Fakultas Bioteknologi UKDW, Kisworo dan Ignatius P. Cahyanto, Ph.D staf pengajar Hospitality and Tourism Management di Universitas Louisiana, Lafayette, Amerika Serikat.
Julianti menambahkan, persiapan pembukaan dilakukan cukup ketat, seperti penambahan fasilitas kebersihan. Pembelian tiket secara daring juga diberlakukan. Jumlah wisatawan yang bisa masuk untuk tahap ujicoba pertama ini maksimal 50 persen dari daya tampung. Kegiatan wisata juga harus dilakukan satu hari saja. Monitoring pelaksanaan protokol dilaksanakan secara ketat dan menjadi dasar peninjauan kembali kebijakan ini jika dirasa perlu.
Mengutip data, Julianti memaparkan pada 2013 kegiatan wisata di Pulau Komodo mampu menggerakkan ekonomi Kabupaten Manggarai Barat hingga Rp 270 miliar.
Operator wisata dan kapal mengeruk 76 persen dari jumlah itu, sementara pengusaha hotel, restoran dan suvenir menerima 22 persen. Jumlah itu meningkat pada tahun 2016, yakni mencapai Rp 458,4 miliar, dengan operator wisata dan kapal menerima 51 persen sementara pengusaha hotel, restoran dan suvenir menikmati 43 persen dari jumlah itu.
Menyimak data tersebut, dapat dihitung kerugian yang tercipta karena penutupan secara serentak seluruh destinasi wisata alam kawasan konservasi pada 16 Maret 2020 lalu. Bisnis Hotel, homestay, restoran, dan transportasi menanggung rugi. Negara juga tidak menerima pendapatan sama sekali dari sektor ini, kata Julianti.
“Kita punya data 4.251 orang penyedia jasa wisata alam serta 1.859 tenaga kerja wisata alam semua berhenti, tidak mendapatkan pendapatan,” ujar Julianti.
Perubahan Konsep Ekowisata
Di sisi lain, pandemi virus corona juga memberi kesempatan bagi alam untuk memperbaiki dirinya. Sejumlah kawasan ekowisata yang tidak dikunjungi dalam empat bulan terakhir, diketahui menjadi lebih bersih dan lebih ideal bagi kehidupan satwa dan tumbuhan.
Ignatius P. Cahyanto, pengajar di Universitas Louisiana, Lafayette, Amerika Serikat menilai, selama ini penerapan ekowisata di Indonesia secara umum memang belum tepat. “Kita mengejar ekowisata, cuma mengejarnya adalah memakai indikator mass tourism. Jumlah yang datang berapa, kalau tidak mencapai kuota tersebut, berarti gagal. Padahal ide awal munculnya ekowisata, adalah untuk mengurangi imbas negatif yang dibawa mass tourism,” kata Cahyanto.
Ekowisata yang berbasis masyarakat, dipilih untuk mengurangi dampak pariwisata massal. Salah satu dasar pertimbangannya adalah karena kawasan ekowisata, biasanya menjadi kawasan konservasi juga. Karena itulah, ke depan seharusnya ada kebijakan pembatasan kapasitas yang diterapkan untuk jenis wisata ini. Pembatasan kapasitas dihitung secara dinamis, dan bukan sebuah angka tetap yang harus diperdebatkan. Memperdebatkan angka tidak penting, justru tujuan pembatasan itulah yang penting.
“Yang penting disini, meskipun yang datang hanya 10 orang, tetapi kalau mereka beli suvenir, tinggal tiga hari di sana, terlibat berbagai aktivitas disana, itu benefitnya jauh lebih besar dibandingkan 30 orang wisatawan yang hanya dua jam di sana, foto-foto, langsung balik ke Jakarta,” kata Cahyanto.
Cahyanto memberi contoh penerapan konsep tersebut di negara Bhutan. Negara tersebut menerapkan pembatasan jumlah wisatawan, sekaligus menetapkan target uang yang dibelanjakan. Karena itu, dengan membuat jumlah wisatawan kecil, mereka mampu menjaga kualitas alamnya sekaligus memaksimalkan pendapatan dari sektor ini. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia