LIMBOTO BARAT – Yosonegoro merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, yang mayoritas dihuni oleh para warga Jawa Tondano atau Jaton. Masa penjajahan Belanda pada zaman dulu menjadi awal awal mula kedatangan warga Jaton di desa Yosonegoro.
Rusdin Muhammad Rifai (76) salah satu keturunan keempat, dari eyangnya Paongusasi atau Kossasi (dalam penyebutan Jawa) menceritakan awal mula warga Jaton bermukim didesa Yosonegoro.
Dia menjelaskan bahwa keturunan Kyai Mojo dan pengikutnya yakni anak pertama dari perkawinan silangan antara Jawa dan Tondano,datang ke tanah Gorontalo pada tahun 1904. Saat itu warga Jaton berniat mencari tanah lapang yang akan digunakan sebagai lahan pertanian.
“Perhitungan dari (penjajahan Belanda). mungkin penjajah Belanda mereka (Kyai Mojo dan pengikutnya) dibuang di Minahasa (dibuang dan dibenturkan dengan keyakinan yang berbeda agar tidak melakukan perlawanan) dan kemudian kawin mawin disana langsung dimasukan Islam. dan datang kesini (Yosonegoro) pada tahun 1904 dan bukan transmigrasi” kata Rusdin saat ditemui di kediamannya Yosonegoro, Rabu (12/06/2019).
Ia menjelaskan saat telah dewasa para keturunan pertama dari hasil pernikahan suku Jawa dan suku Tondano,Minahasa dikirim ke tanah Gorontalo. Tujuannya, mencari tempat yang cocok untuk digunakan sebagai lahan pertanian pada masa itu.
Rifai menjelaskan salah satu yang datang saat itu adalah Amal Limojo yang berprofesi sebagai guru Milo (istilah belanda guru setingkat SMP) bersama para pengikut Kyai Mojo, termasuk kakek buyut Rusdin Muhammad Rifai. Mereka datang mengendarai kuda dan membawa orang-orang yang memiliki bakat kemampuan bidang agama, keahlian bidang pemerintahan, pandai besi/perkayuan dan bidang pertanian melintasi jalur Gorontalo Utara.
Menurut Rifai sebelumnya telah ada dua warga Jaton, yaitu Amal dan Paon telah terlebih dahulu datang ke Gorontalo sebanyak dua kali. Kedatangan mereka untuk mencari lahan untuk bercocok tanam.
“merujuk catatan dikbud. Mereka melintasi (Gorontalo) yang termasuk desa ini dengan menggunakan kuda. Dengan meminta persetujuan Podono (istilah Bupati pada masa itu) mereka meninjau Desa Huidu Utara, yang akhirnya mereka merasa daerah itu tidak cocok digunakan sebagai pertanian tanaman basah karena daerah pegunungan “ Urai Rifai.
Rifai menjelaskan setelah kedatangan kedua kalinya, barulah Amal dan Paon menemukan wilayah yang cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Namun mereka harus meminta persetujuan dari Podono karena wilayah hutan belantara dan tidak ada orang yang berani melintasi daerah itu karena diyakini merupakan tempat angker.
“Kemudian Amal dan Paon memutuskan wilayah itu (desa Yosonegoro) cocok digunakan sebagai tempat pertanian “ imbuhnya.
Setelah menemukan wilayah pertanian yang cocok, Amal dan Paon kembali ke Tondano untuk menyampaikan telah menemukan wilayah di Gorontalo yang cocok untuk ditanami tanaman lahan basah.
“ Dan datanglah rombongan yang dipimpin oleh Kyai Rahmat Ses dan Amal Limojo dengan membawa kurang lebih 40 sampai 50 Kepala Keluarga (KK) “
Rifai menambahkan para pedahulu atau orang tua perintis yang datang pertama kali kewilayah tersebut kemudian menyepakati untuk memberikan nama Yosonegoro bagi desa mereka. Nama itu merujuk pada dua kata dari bahasa Jawa yaitu “Yoso” yang artinya membangun dan “Negoro” yang berarti Negeri.
“Sehingga Yosonegoro dapat diartikan sebagai membangun negeri “ ia memungkasi. (KT05)