WASHINGTON, DC – Tahun 2003, Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB, UNESCO resmi menetapkan wayang asli Indonesia sebagai warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur atau Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Sebagai upaya untuk melestarikan budaya wayang dan memperkenalkannya kepada generasi muda penerus bangsa, kini wayang kerap ditampilkan dengan memasukkan unsur cerita yang lebih modern.
Komik Wayang Generasi Baru
Sejak tahun 2009, komikus sekaligus ilustrator asal Surabaya, Is Yuniarto, mengangkat tema pewayangan ke dalam karya komik bertajuk Garudayana. Dengan menampilkan gaya visual, dialog, dan cerita yang modern, jadilah serial komik wayang versi nusantara generasi baru.
Komik ini menampilkan karakter utama ciptaannya, bernama Kinara, gadis remaja yang juga adalah pemburu harta karun. Pada suatu hari Kinara menemukan telur garuda terakhir.
Awalnya, ide Is sempat diragukan oleh pihak penerbit. Apalagi mengingat bahwa sebelumnya Is lebih dikenal sebagai komikus yang kerap mengangkat cerita bertema fantasi dan fiksi ilmiah.
“Kalau bicara industri dan pasar, tidak ada jawabannya atas pertanyaan apakah wayang itu laku. Bahkan jawabannya bisa jadi tidak laku, karena yang kenal wayang itu adalah orang-orang tua. Dari sisi sales ataupun dari sisi marketing, ini hal yang sulit buat dijual,” jelasnya.
Namun, ternyata komiknya mendapat tanggapan yang sangat positif, baik dari generasi muda mau pun yang terdahulu. Pada waktu itu Is sengaja membuka “hotline” lewat SMS dan e-mail, agar para pembaca bisa mengirimkan komentar mengenai komiknya. Komentar-komentar yang masuk berhasil membuatnya tersentuh.
“Tanggapan dari mereka sangat positif, mengharukan sekali, baik itu dari generasi anak-anak, bahkan yang membuat saya bahagia adalah banyak juga dari generasi yang lebih tua, jadi misalkan message atau ada pesan dari kakek-kakek, dimana mereka senang sekali ketika mereka melihat cucunya membaca komik wayang lagi. Nah, itu saya sangat tersentuh,” cerita Is Yuniarto kepada VOA belum lama ini.
Kemunculan kembali komik wayang dengan cerita yang lebih modern ikut didukung oleh Ki Midiyanto, dalang, yang sejak tahun 2004 menjadi dosen gamelan di University of California, Berkeley, di California.
“Menurut saya komik wayang, saya bisa mendukung, justru itu menambah perbendaharaan budaya, kan? Karena kalau komik tradisi, itu memang, satu, bahasanya, unsur bahasa yang sangat susah dimengerti. Apalagi dalam bahasa Jawa. Wayang itu memang dramatis, dan sebagainya itu kan harus dituntut dengan bahasa yang sudah mendalam. Jadi wayang bahasa Jawa di Indonesiakan ini, greget atau ‘nges’ nya tidak mengena,” ujar Ki Midiyanto kepada VOA baru-baru ini.
Komik Garudayana telah membawa Is ke berbagai pameran dan festival buku di luar negeri, seperti China’s Licensing Expo dan Hong Kong International Licensing Show di Tiongkok pada tahun 2019, dan juga pameran buku di Frankfurt, Jerman.
Cinta Dunia Wayang Sejak SD
Kecintaan Is terhadap dunia komik tumbuh sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dibalik hobi menggambarnya, Is merasakan adanya kelebihan, dimana ia senang menciptakan karakter dan menulis cerita.
“Ketika pertama kali waktu SD, saya bikin komik, se-simple membuat dua panel, yaitu karakter yang sedang bergerak. Di situ saya merasakan bahwa, ‘it’s a magic.’ Dengan dua panel, dengan gambar, karakter saya bisa jadi hidup,” kenang Is.
Sekitar kelas 1 SMP, Is pun mulai mengenal dunia wayang, melalui komik-komik wayang klasik Indonesia karya R.A. Kosasih dan Oerip, yang terbit pada tahun 1960an.
“Jadi di situlah saya pertama kali mengenal karakter-karakter wayang, dan jatuh cinta dengan ceritanya, dan karakter-karakternya,” ujarnya.
Impiannya hanya satu, yaitu untuk berbagi kecintaannya akan wayang dengan generasi muda.
“Jadi ketika saya sudah dewasa dan berprofesi sebagai komikus, menciptakan I.P (red.Intellectual Property), menciptakan judul komik sendiri, saya mencoba menarik kecintaan saya ketika kecil, dan saya ingin berbagi rasa excitement ketika saya kecil itu kepada generasi yang sekarang. Generasi pembaca muda yang sekarang,” tambah komikus kelahiran Malang ini.
Tak pernah terpikir dalam benaknya, bahwa dunia komik yang ia cintai sejak kecil kelak akan menjadi sumber mata pencaharian. Apalagi melihat industri komik pada tahun 90 hingga 2000an sempat “mati suri.” Walau sempat ragu, pasca lulus kuliah, Is tetap semangat dalam mengejar cita-citanya untuk menjadi illustrator dan penulis komik.
“Setelah selesai kewajiban sekolah, kewajiban kuliah, jadi saya ingin mengejar penerbitan komik saya, debut komik saya pertama kali di Indonesia, pada saat itu terbit tahun 2005,” kenang lulusan Universitas Kristen Petra jurusan desain komunikasi visual di Surabaya ini.
Wind Rider menjadi karya komik perdananya yang diterbitkan, dimana ia bekerjasama dengan ilustrator John G. Reinhart. Banyak mendapat tanggapan yang positif, komik ini berhasil meraih nominasi untuk penghargaan Komikasia di kategori Best Cover, Best Character dan Best Comic.
Tahun 2007, Is berkolaborasi kembali dengan ilustrator, John G. Reinhart, juga Aswin Agastya untuk merilis komik trilogi Knights of Apocalypse.
Beralih ke tema pewayangan, tahun 2009, Ia meluncurkan komik Garudayana dan Grand Legend Ramayana pada tahun 2015.
Di bawah Bumi Langit, Is juga merilis komik yang berjudul Tiger Dance: Spirit of Nusantara pada tahun 2020.
Semangatnya dalam mengejar cita-cita dan menjadikan hobinya ini menjadi profesi tentu saja tak lepas dari dukungan keluarga dan teman-teman Is.
“Saya beruntung sekali berada di dalam lingkungan dan keluarga, sahabat-sahabat yang mendukung saya,” ucapnya.
Bentuk Wayang Karakter Pop Culture
Selain komik bertema pewayangan, Is kerap menggabungkan tema pewayangan ke berbagai hasil karyanya dan mengunggahnya ke akun media sosialnya.
Salah satunya berupa modifikasi poster film Raya and the Last Dragon yang mengangkat elemen budaya Asia Tenggara, yang ia gambar ulang dalam bentuk wayang. Ini merupakan bentuk apresiasinya terhadap dunia pop culture.
“Apalagi film Raya ini mengangkat tema Asia Tenggara. Jadi saya enggak mau kelewatan untuk turut berkarya, menciptakan, istilahnya sih bisa disebut sebagai parodi ya, bahwa sebenarnya bentuk visual style yang gambar kartunnya Raya, itu saya coba re-create dengan gaya wayang Jawa,” jawab komikus yang juga terlibat dalam penggarapan komik-komik produksi Bumi Langit ini.
Karya Is pun berhasil menarik perhatian dan diapresiasi oleh pihak promosi lokal dari Disney.
Desain Wayang Untuk Aktor Hollywood
Sebelumnya, Is juga sudah pernah menggambar lebih dari 20 tokoh-tokoh dari dunia pop culture dalam bentuk wayang, yang ia unggah ke media sosial. Beberapa diantaranya adalah tokoh dari film Star Wars, Marvel dan DC Comics dalam bentuk wayang.
Biasanya ia “memanfaatkan momentum ketika ada film atau komik baru yang dirilis terkait dengan karakter tersebut.”
“Itu sebenarnya ada kaitannya dengan Garudayana tadi. Di komik Garudayana, itu saya bikin komiknya dengan gaya Manga Jepang. Ceritanya kan tadi cerita wayang ya. Ceritanya itu tradisional atau klasik. Tapi bentuk visual-nya itu modern. Dari situ saya tergerak untuk bereksperimen. Bagaimana kalau dibalik? Visual-nya tradisional, tapi cerita atau karakternya modern,” ujar komikus kelahiran Malang ini.
Siapa yang menyangka kalau karya-karyanya lalu dilirik oleh pihak Disney. Tahun 2018, Is diminta untuk membuat bentuk wayang kulit aslinya, sebagai cinderamata yang akan diberikan kepada beberapa aktor film Avengers: Infinity Wars, antara lain Bennedict Cumberbatch yang memerankan tokoh Dr. Strange, Karen Gillan yang memerankan tokoh Nebula, dan pemeran tokoh Iron Man, Robert Downey, Jr.
“(Disney) akan pilih artis atau seniman dari Indonesia, untuk memberikan cinderamata yang khas dari Indonesia kepada cast dari film Avengers tersebut. Jadi mereka memilih saya. Saya diminta untuk datang dan memberikannya sebagai perwakilan dari Indonesia untuk menyerahkan cinderamata tersebut berupa karakter wayang,” kenangnya.
Is memberikan wayang-wayang tersebut langsung kepada para aktor tersebut dan juga sutradara film Avengers: Infinity Wars, Joe Russo, yang ikut hadir di acara peluncuran perdana film itu di Marina Bay Sands, Singapura.
“Kaget ya, kaget senang. Enggak nyangka bahwa karya saya diapresiasi. Kemudian tantangannya adalah waktu tentu saja, cukup mepet, mungkin di bawah satu bulan ya, untuk meng-create bentuk wayangnya,” cerita Is.
“Dari Bennedict (Cumberbatch), dia sangat appreciate banget, yah. Dia baru pertama kali lihat bentuk wayang, bahkan si Karen Gillan juga appreciate banget, bilang, ‘wah, ini langsung mau dipasang di tembok rumah saya,’” tambahnya.
Tahun berikutnya, Is diminta kembali membuat wayang kulit untuk tokoh Spiderman, yang ia serahkan langsung kepada aktor Tom Holland di acara peluncuran film Spiderman: Far From Home, di Bali.
Tantangannya pada waktu itu adalah bahwa Is belum pernah sama sekali menciptakan bentuk wayang aslinya. Setelah melakukan riset, ia pun lalu menghubungi pengrajin wayang kulit di Solo.
Bereksperimen dan Tidak Terpaku Pakem
Walau memang karyanya ini berbeda dari wayang tradisional, Is mengatakan, komunitas wayang di Indonesia cukup terbuka.
“Mungkin dari luar kelihatannya, wah ini tradisional, ini terlalu saklek dengan pakem, tapi ada komunitas wayang yang memang mereka open dan mereka banyak bereksperimen. Tentu saja saya bukan yang pertama meng-create karakter superhero untuk jadi wayang ya. Sudah ada beberapa artis sebelumnya atau bahkan mungkin dalang lain yang menciptakan bentuk-bentuk karakter superhero dalam bentuk wayang,” jelas Is.
Dalam menggambar tokoh-tokoh pop culture ini dalam bentuk wayang, Is mengaku memang tidak terpaku kepada pakem tertentu. Namun, ia tetap menerapkan beberapa “konsep ornamen” dari beragam wayang tradisional, yang berasal dari berbagai dearah di Indonesia.
Midiyanto menyadari adanya perubahan dan perkembangan dalam dunia wayang, khususnya dalam pementasan di era sekarang.
“Penggemar wayang sekarang adalah generasi muda, sebenarnya. Tapi yang dipentaskan oleh dalang-dalang itu dikemas secara milenial untuk zaman now. Ceritanya pun tidak pure dikutip dari India dan Ramayana, Mahabharata itu,” ujar Ki Midiyanto.
“Apalagi lukisan, sekarang banyak sekali lukisan wayang yang sudah direnovasi bentuk badan, rambut, dan wajahnya dan sebagainya, tapi itu bukannya merusak perkembangan, perkembangan bentuk dan memperbanyak vocabulary budaya,” tambahnya.
Kepada generasi muda yang ingin mendalami dunia wayang, Ki Midiyanto berpesan untuk terus berkarya dan “jangan berhenti di format tradisi.”
“Harus berkarya. Berkarya baru dan bisa diakui, karena perkembangan anak-anak Indonesia, anak muda ini terlalu pesat, karena apa? Buktinya, ada perguruan tinggi seni itu yang mengambil jurusan pedalangan, yang karawitan, banyak sekali, jauh lebih banyak dibandingkan dari pada dulu-dulu,” kata Ki Midiyanto.
Tidak hanya wayang, Is Yuniarto menambahkan bahwa masih banyak kebudayaan Indonesia yang masih bisa dieksplorasi dan “punya potensi untuk diangkat hingga ke luar negeri.”
“Kalau misalnya saya sendiri terbatas saya tinggal sejak kecil di Jawa, banyak sekali di luar Jawa dari Papua ataupun dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, masih banyak yang belum di explore. Jadi kalian punya banyak kesempatan, untuk mengeksplorasi hingga menjadi value yang berlipat-lipat,” pungkasnya menutup wawancara dengan VOA. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia