OPINI – Menurut Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa, untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah di seluruh Indonesia, maka dilakukan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Indonesia, tetapi ternyata dalam upaya legalitas hak atas tanah tak sedikit membuka peluang yang menimbulkan celah terjadinya kejahatan yang disengaja maupun tidak.
Negara harus hadir menjamin pengakuan hak-hak atas tanah yang melekat pada warga negara tersebut berdasarkan perundang-undangan, seperti adanya Undang-undang (UU) Agraria wajib menjadi UU yang komprehensif yang dapat mengatasi persoalan-persoalan pertanahan, baik sebagai milik pribadi maupun yang melekat sebagai fungsi sosial untuk kepentingan umum.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil mengatakan, permasalahan sengketa tanah sering terjadi di hilir, untuk mengatasi permasalahan tersebut, harus diselesaikan dari hulu terlebih dahulu. Oleh karena itu dicanangkan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) untuk seluruh tanah, ucap Sofyan A. Djalil, yang dikutip dari laman Kementerian ATR/BPN, Senin (29/3/2021) oleh Kompas.com.
Selanjutnya Menteri Sofyan mengatakan, Presiden Joko Widodo berkomitmen mengatasi dalam penanganan sengketa dan konflik pertanahan di Indonesia, sebab tanah memiliki hubungan spiritual dengan pemiliknya. Kementerian ATR/BPN juga telah menggandeng beberapa lembaga terkait dalam menyelesaikan masalah tanah, seperti Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI.
Menurut Direktur Jenderal Penangan Sengketa dan Konflik Pertanahan, R.B. Agus Widjayanto, bahwa penanganan masalah pertanahan dilakukan sesuai kewenangan, baik itu di Kantor Pertanahan (Kantor Kabupaten/Kota), Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi ataupun di Kementerian ATR/BPN. Namun, jika itu menjadi perhatian publik dan permasalahan Nasional dan daerah tidak dapat menangani permasalahan tersebut akan ditangani oleh Kementerian ATR/BPN.
Mengatasi Tanah Yang Bermasalah
Perselisihan yang tergolong dalam perkara tanah berarti penanganan dan penyelesaiannya harus dilakukan melalui lembaga Peradilan atau persidangan.. Namun jika masalah tersebut belum masuk kasus hukum yang berproses di persidangan, maka masalah ini disebut sengketa tanahyang dapat diselesaikan tanpa proses persidangan.
Bagaimana Cara Menyelesaikannya ?
1. Sengketa Tanah Proses Biasa
Cukup melakukan pengaduan ke Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis, melalui loket pengaduan, kotak surat atau laman resmi Kementerian Agraria dan tata Ruang (ATR atau BPN) dimana domisili tanah berlokasi. Berdasarkan pengaduan tersebut, pejabat yang berwenang akan melakukan pengumpulan data dan analisa, untuk mengetahui apakah pengaduan ini termasuk kewenangan Kementerian atau bukan. Jika iya, maka proses penyelesaian sengketa tanah akan segera dilakukan, dan hasil dari penyelesaian sengketa tersebut nantinya menjadi keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri.
Jika ada peralihan tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU), diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 tahun 1996, pada Pasal 16 ayat (2), bahwa HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara: a. jual beli; b. tukar menukar; c. penyertaan modal; d. Hibah; e. Pewarisan. Sedangkan pada ayat (3) Peralihan HGU harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Sedangkan pada pasal 18 Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1960 menyebutkan bahwa, untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan MEMBERI GANTI RUGI YANG LAYAK menurut tata cara yang diatur dengan UU.
Dalam Peraturan Menteri (PERMEN) Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional, No. 9 Tahun 1999, menyebutkan dalam:
a. Pasal 105, dalam ayat (1) Pembatalan Hak atas tanah dilakukan dengan Keputusan Mentri, dan pada ayat (2) Pembatalan Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Pejabat yang ditunjuk;
b. Pasal 106, ayat (1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena Cacat Hukum Administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwewenang tanpa permohonan; dalam ayat (2) Permohonan pembatalan hak dapat diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan;
Jika ini tidak dilaksanakan merupakan pelanggaran terhadap UU No. 5/1986 jo UU No. 9/2004, Jo UU No, 30/2014 tentang Azas-azas Pemerintahan Yang Baik, yang harus memberikan kepastian hukum, ketidakberpihakan, kecermatan, keterbukaaan dan pelayanan yang baik.
Di luar sengketa tanah yang menjadi penyelesaian internal Kementerian ATR / BPN, maka itu menjadi permasalahan hukum tanah yang harus berproses di Pengadilan, seperti melalui:
2. Gugatan di Pengadilan Tata usahan Negara (PTUN)
Proses disini untuk membatakan Sertipikat tanah karena cacat hukum dalam penerbitan. Dalam Pasal 53 ayat (1), UU No. 5 tahun 1986 menyatakan, “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”
Sedangkan pada Pasal 55 UU No. 5/1986 berbunyi, “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
3. Gugatan di Peradilan Umum (Pengadilan Negeri)
Proses ini ditempuh jika seseorang dirugikan dalam kepemilikannya, misalnya dengan adanya Perbuatan Melawan Hukum yang diatur oleh Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut ”.
Dapat pula karena Wanprestasi yang diperjanjiakan seperti diatur oleh Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyebutkan “Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
4. Adanya Unsur Pidana
Permasalahan Tindak Pidana dalam sengketa pertanahan diatur dalam sejumlah ketentuan kejahatan, berupa penyerobotan tanah diatur oleh Pasal 167 KUHP dan Pasal 168 KUHP, Pemalsuan surat-surat tanah diatur dalam 263, 264, 266 dan 274 KUHP, dan kejahatan karena Penggelapan atas barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan sawah, biasa disebut dengan kejahatan stellionaat, diatur dalam Pasal 384KUHPidana. (**)