PALU – Masih terbayang dalam ingatan kita, bagaimana paniknya warga Palu di kawasan pantai dan sekitarnya, ketika wilayahnya diguncang gempa dan tsunami dahsyat tahun lalu. Meskipun ada peringatan dini, tetapi warga yang tidak memiliki pengetahuan tentang cara menghadapi bencana, dan bahkan tidak pernah mendapat pendidikan tentang hal ini, panik. Walhasil jatuhnya korban tak terhindarkan.
Itulah sebabnya menurut Profesor Ronald Albert Harris, peneliti dan pakar geologi di Brigham Young University di Amerika, pendidikan mitigasi bencana yang baik sangat diperlukan di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah.
Prof. Harris mengatakan kita perlu mendidik orang sehingga ketika terjadi gempa, mereka dapat segera melakukan evakuasi. Ada video yang menunjukkan orang-orang berteriak ‘tsunami, tsunami’ dan orang tidak mendengar itu. Mereka berputar-putar dengan sepeda motor dan tidak mengetahui adanya peringatan tsunami.
Dalam seminar yang diikuti oleh mahasiswa, perwakilan penyintas bencana serta para pemangku kepentingan lainnya, Harris memberi formula “10-10-10” yang menurutnya dapat diaplikasikan ketika terjadi gempa. Ketika terjadi guncangan gempa kuat dalam durasi setidaknya 10 detik, seperti yang terjadi di Palu, maka masyarakat segera melakukan evakuasi untuk tiba ditempat yang aman dalam waktu 10 menit, di tempat yang memiliki ketinggi setidaknya 10 meter.
Menurutnya ada kecenderungan dalam masyarakat untuk menunggu adanya peringatan dari otoritas berwenang baru melakukan evakuasi, padahal guncangan gempa bumi itu adalah peringatan untuk mengevakuasi diri.
Berdasarkan keterangan warga masyarakat, tsunami di Teluk Palu tahun lalu sudah tiba di beberapa tempat tertentu dalam waktu tiga menit. Durasi ini berbeda di bagian lain di pesisir Teluk Palu.
Harris mengatakan ada tsunami yang tiba dalam tiga menit, jadi masyarakat harus memulai sendiri evakuasi. Tidak bisa menunggu pihak berwenang. Ketika gempa terjadi, jangan lagi tunggu peringatan. “Gempa bumi itu adalah peringatan,” ujarnya.
Harris menggarisbawahi perlunya memberi informasi ini sejak dini, termasuk pada anak-anak.
Menurutnya gempa berkekuatan 7,4 pada 28 September 2018 itu akibat pelepasan energi dari pergerakan Sesar Palu Koro yang pada sisi bagian timur bergerak ke utara. Sedangkan sisi bagian barat bergerak ke selatan dengan kecepatan lima sentimeter per tahun. Tsunami di Teluk Palu, ujarnya, dipicu oleh longsoran bawah laut yang berasal dari material pasir yang terbawa dari daratan oleh air hujan. Pasir yang tertumpuk selama 400 tahun itu kemudian longsor dan memicu tsunami.
Pakar: Tak Ada Salahnya Indonesia Belajar dari Jepang
Harris menegaskan bahwa gempa bumi tidak serta merta mematikan, tetapi reruntahan bangunan dapat membunuh atau melukai orang secara langsung. Oleh karena itu penting pula memastikan agar bangunan yang dibangun di masa depan, tahan gempa. Juga harus dilakukan pemeriksaan berkala pada gedung-gedung bertingkat, dengan menggunakan daftar resmi yang dikeluarkan BNPB. Langkah lain yang juga penting dilakukan adalah simulasi atau latihan evakuasi menghadapi gempa dan tsunami. Menurut Harris, tak ada salahnya Indonesia juga mengikuti pola sederhana yang dilakukan Jepang.
Harris mengatakan di Jepang, warga menggunakan penanda tsunami. “Jadi seperti musibah di Palu Barat di mana ketinggian air mencapai 10 meter, perlu diberi tanda. Di Jepang dikasih tanda ‘jangan dirikan bangunan di sini,” ujarnya.
Salah seorang peserta diskusi yang juga guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Palu, Lisna Dewi, mengaku mendapat banyak pelajaran dari Prof. Harris yang ingin dibagikannya kepada para murid dan juga keluarganya sendiri.
“Pendidikan yang paling penting karena kalau anak-anak tahu atau orang tahu bagaimana bisa menghindari dan mencegah dampak dari bencana tentu akan bagus buat mengurangi jumlah korban, mengurangi pokoknya hal-hal yang bisa berdampak negatif.”
Warga Palu Harus Sadari Pentingnya Pendidikan Mitigasi Bencana
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Sagaf S Pettalongi, kepada VOA mengatakan seminar yang dilangsungkan bersama PBNU dan BNPB itu ditujukan untuk mendidik masyarakat agar memahami urgensi pendidikan mitigasi bencana. Terlebih karena Palu berada di atas patahan sesar Palu Koro yang setiap saat berpotensi diguncang gempa.
“Saya berharap dengan harapan ini kita tidak menimbulkan kecemasan yang lebih mendalam lagi bahwa bencana itu adalah sesuatu yang nyata tapi kita harus menyikapi bagaiman kita mengelola, menghadapi bencana meminimalisir korban dari bencana gempa itu,” jelas Sagaf S Pettalongi.
Akibat gempa 28 September 2018 lalu, hampir 80 persen gedung di IAIN Palu mengalami kerusakan. Proses perbaikan hingga kini masih terus dilakukan, termasuk memastikan agar ada cukup tangga untuk menjangkau tempat perlindungan tsunami di bagian atas gedung. Pihak kampus juga memindahkan lokasi bangunan ke lokasi lain yang berjarak sedikitnya 100 meter dari bibir pantai. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia