Pojok6.id (Gorontalo) – Tim kuasa hukum Matris Mahmud Lukum secara resmi mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Gorontalo, terkait dengan penetapan tersangka dugaan korupsi pengembangan Benteng Otanaha terhadap klien mereka.
Permohonan ini diajukan berdasarkan sejumlah kejanggalan prosedural, yang ditemukan dalam proses hukum Matris.
Dalam konferensi pers, Ketua Tim Kuasa Hukum, Rahmat Zulkifli Lukum, menjelaskan bahwa ada beberapa pelanggaran formil yang menjadi dasar diajukannya praperadilan.
“Kami melihat tidak ada proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Gorontalo, khususnya di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) bagian Tipikor. Selain itu, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tidak pernah diserahkan kepada klien kami,” ujar Rahmat, Jumat (27/9/2024).
Rahmat juga menyoroti proses pengumpulan alat bukti, yang dinilai tidak sesuai prosedur.
“Sebagai syarat penetapan tersangka, harus ada minimal dua alat bukti. Namun, kami mempertanyakan apakah dua alat bukti tersebut sudah memenuhi syarat,” tambahnya.
Jufri, anggota tim kuasa hukum lainnya, memaparkan lebih rinci terkait kejanggalan prosedural dalam penetapan tersangka.
“Penetapan tersangka ini dilakukan tanpa proses penyelidikan yang semestinya. Berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap), harus ada laporan polisi (LP) terlebih dahulu, diikuti dengan penyelidikan. Namun dalam kasus ini, tanggal LP dan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) keluar bersamaan, yang seharusnya tidak mungkin terjadi,” jelas Jufri.
Selain itu, Jufri mengatakan bahwa tim kuasa hukum juga menemukan adanya kejanggalan, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang digunakan sebagai bukti dalam kasus ini. Dimana awalnya, LHP menyebutkan adanya kelebihan bayar sebesar Rp 45 juta, tetapi kemudian muncul LHP lain dengan temuan sebesar Rp 800 juta. Proses ini menimbulkan pertanyaan, tentang keabsahan alat bukti yang digunakan.
“Seharusnya, jika ada temuan BPK terkait TGR dan proses pembayaran sementara dilakukan, maka tidak ada peristiwa pidana. Proses penentuan dua alat bukti juga diragukan, karena LHP sebagai bukti surat penting. Jika ini keliru, wajar kami dari tim kuasa hukum mempertanyakan keabsahan penetapan tersangka,” lanjut Jufri.
Muh. Syarif Lamanasa, salah satu anggota tim kuasa hukum, mengungkapkan kerancuan dalam jawaban yang diberikan oleh pihak termohon, yaitu Polda Gorontalo, terkait penetapan tersangka. Ia menyoroti ketidaksesuaian dalam mekanisme penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), yang dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jawaban dari pihak termohon, Polda Gorontalo, terkait SPDP sangat tidak jelas. Mereka hanya menyatakan bahwa SPDP diserahkan kepada Jaksa, tanpa pernah memberikannya kepada klien kami. Ini jelas menyalahi putusan MK Nomor 130 Tahun 2015, yang menyatakan SPDP harus disampaikan kepada terlapor, pelapor, dan Jaksa maksimal tujuh hari setelah sprindik,” ungkap Syarif.
Ia juga menambahkan, bahwa pihaknya meragukan apakah prosedur upaya paksa yang dilakukan Polda, sudah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam hukum.
“Kami menguji apakah upaya paksa yang dilakukan oleh termohon, sudah sesuai mekanisme atau tidak. Dari jawaban yang diberikan, tampaknya ada prosedur yang dilanggar,” pungkasnya.