Gorontalo – Ada yang menarik dalam Konferensi Tahunan Keadilan Sosial yang di selenggarakan di Gorontalo tanggal 7-9 Desember 2018 kemarin. Saat sesi paralel dalam tema “Bencana, Lingkungan Hidup, dan Ketahanan Pangan”, seorang perempuan berjilbab maju ke depan. Dihadapannya, puluhan audiens yang didominasi mahasiswa, dosen, peneliti, dan jurnalis, bersiap mendengarkan paparannya.
Audiens saat itu ada memperhatikannya, namun ada juga yang tidak memperhatikan dan masih berbincang-bincang dengan rekan lainnya. Sementara dihadapan mereka, perempuan itu nampak gugup. “Perkenalkan, nama saya Trista Aprilia. Saya dari SMA Negeri 1 Simpang, Oku Selatan, Sumatera Selatan,” katanya membuka.
Mendengar perkenalan itu, audiens yang tidak memperhatikan dengan seksama, seperti terperanjat. Mereka langsung memberikan apresiasi dengan cara bertepuk tangan kepada Trista Aprilia. Maklum, sebelumnya, sebagian besar yang memaparkan makalah penelitian mereka adalah peneliti yang sudah bekerja sebagai dosen, mahasiswa, peneliti yang bekerja di lembaga setingkat kementerian, dan juga profesor peternakan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Namun kini berdiri dihadapan mereka adalah seorang perempuan dari SMA yang berasal dari Sumatera Selatan.
“Penelitian saya tentang penghematan biaya produksi pembesaran ayam petelur dari 14 hari menjadi 7 hari,” ungkap Trista.
Menurutnya, tujuan penelitiannya adalah mencari metode penghematan biaya produksi pembesaran ayam petelur untuk daerah bersuhu rata-rata diatas 25 0C dengan memangkas durasi pengoperasian pemanas buatan (brooder) dari 14 hari menjadi 7 hari.
Lebih lanjut riset ini, kata Trista, bermaksud menantang literatur yang diadopsi dari negara beriklim dingin bahwa penggantian penghangatan alami oleh induk ayam dengan brooding selama antara 18-25 hari pertama pasca day old chick / DOC chick in tidak boleh dipersingkat karena berakibat pada gangguangan perkembangan anak ayam dan resiko penyakit di fase selanjutnya.
Padahal mayoritas wilayah Indonesia beriklim cukup hangat. Mahalnya biaya pengoperasian penghangat menaikkan biaya pembesaran secara signifikan (Rp 4000/ekor). Mahalnya gas elpiji dan resiko kerusakan lingkungan akibat pemakaian kayu bakar seharusnya bisa disiasati dengan memperpendek periode brooding.
Trista melakukan penelitian ini dengan memakai pendekatan studi Kohort dimana 5000 ekor DOC ayam petelur strain ISA Brown Classic mengikuti perkembangan selama 13 minggu terhitung sejak chick in 10 September 2018 di Desa Simpang Agung, Oku Selatan, Sumatera Selatan.
Variabel bebas berupa intervensi pemangkasan durasi penghangat menjadi 7 hari (sebelumnya 14 hari). Efek negative pemangkasan dipantau melalui data mingguan terhadap 4 indikator: Mortalitas DOC, bobot badan (body weight / BW), keseragaman (uniformity) dan episode penyakit.
Lebih lanjut Trista menjelaskan, kesimpulan awal yang bisa ditarik adalah pemangkasan brooding menjadi 7 hari saja untuk tujuan penghematan biaya pembesaran tidak akan memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan ayam. Brooding yang distop lebih awal tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam hal bobot badan, keseragaman, mortalitas dan kejadian penyakit sampai usia ayam 10 minggu di Kecamatan Simpang, Oku Selatan.
“Penarikan kesimpulan secara bijaksana dari praktisi pembesaran ayam petelur berdasarkan hasil penelitian ini akan memberikan keuntungan berupa penghematan biaya produksi dan secara umum ramah lingkungan dan mencegah resiko kebakaran kandang,” ungkap Trista menutup penjelasan hasil penelitiannya.
Trista sendiri saat ini duduk di bangku kelas X Mipa dan tergabung dalam Forum Remaja untuk Perdamaian. Selain itu, ia juga adalah alumni kegiatan Social Justice Youth Camp (SJYC) Sumatera Selatan, dimana kegiatan serupa juga dilakukan di Gorontalo pada bulan Agustus 2018 lalu.
Usai memaparkan hasil penelitiannya, Trista mengaku gugup. Namun satu hal yang sempat ia sayangkan adalah tidak sempat menayangkan salah satu video diakhir presentasinya karena keterbatasan waktu.
Menurutnya, dalam penelitian itu ia dibiayai oleh peternak, dan biaya itu ia manfaatkan bersama teman-teman sesama alumni SJYC untuk membangun jamban atau WC sebanyak 40 buah di desa terpencil di Sumatera Selatan. Dan proses penelitian hingga membuat WC itu mereka videokan dengan durasi 1 menit 41 detik. Trista lalu menjadikan lagu “kebangsaan Gorontalo”: Hulondhalo Lipu’u sebagai latar musik dalam videonya.
“Soundtrack-nya dipilih lagu Gorontalo karena dari awal kami semua bermimpi ingin ke Gorontalo. Video itulah menjadi alasan saya melakukan penelitian ini,” kata Trista.
Saat ini Trista telah meninggalkan Gorontalo menuju Palembang karena harus mengikuti ujian di sekolahnya di SMA Negeri 1 Simpang, Oku Selatan. [*]