Mendiagnosis Konflik, Ketimpangan, dan Keadilan Sosial

Seluruh pemateri yang hadir di kegiatan Konferensi Tahunan Keadilan Sosial foto bersama usai kegiatan. Foto : istimewa

Gorontalo – Gelaran Konferensi Tahunan Keadilan Sosial 2018 di Universitas Muhammadiyah Gorontalo resmi berakhir. Sebanyak 101 orang peneliti muda, cendekiawan, akademisi, dan juga aktivis secara paralel memaparkan hasil penelitian mereka terkait dengan latar belakang keilmuwannya dan kaitannya dengan keadilan sosial. Beberapa peneliti muda tersebut berasal Sekolah Menengah Atas dari Sumatera Selatan dan Jakarta.

Konferensi Tahunan Keadilan Sosial 2018 diawali dengan tiga pembicara kunci pada Sabtu pagi, 7 Desember 2018. Mereka adalah Rektor Universitas Widya Mataram: Prof Dr Edy Suandi Hamid M.Ec, Rektor Universitas Hasanudin Makassar: Prof DR. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo: DR. Dr. M. Isman Jusuf, Sp.S

Pembicara pertama Prof Dr Edy Suandi Hamid menjelaskan tentang makna dan praktik keadilan di Indonesia, dimana keadilan merupakan sebuah amanah sekaligus cita-cita yang tertuang jelas pada sila ke-5 Pancasila. Namun di Indonesia, keadilan belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat baik dari sisi hukum, ekonomi, sosial maupun politik. Jika dilihat dari sisi ekonomi hal ini tercermin melalui tingginya ketimpangan pendapatan yang terjadi.

Read More
banner 300x250

Mantan rektor Universitas Islam Indonesia dua periode tersebut banyak memaparkan data dan fakta tentang fenomena ketimpangan sosial di Indonesia. Menurutunya distribusi pengeluaran perkapita Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa 46,89% total pengeluaran Indonesia dinikmati oleh 20 % penduduk dengan pengeluaran terbesar. Sementara 40 % penduduk dengan pengeluaran terendah hanya menikmati 17,02 % total pengeluaran Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa “kue ekonomi” Indonesia lebih banyak dinikmati oleh seperlima penduduk dengan pengeluaran terbesar.

Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah tersebut menjelaskan bahwa besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan tidak sebesar dengan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan. Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak serta merta menurunkan tingkat ketimpangan. Hal ini karena pertumbuhan pendapatan orang kaya jauh di atas orang miskin.

“Ketimpangan mendeskripsikan adanya gap atau jjurang antara masyarakat berpendapatan tinggi (kaya) dengan masyarakat berpendapatan rendah (miskin),” ujar Prof Edy Suandi Hamid.

Penandatanganan Mou antara ISJN dengan Universitas Muhammdiyah Gorontalo. Foto : istimewa

Diakhir pemaparannya, Prof Edy menjelaskan bahwa ketimpangan masih menjadi salah satu tugas berat yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat. Salah satu saran yang ia sampaikan adalah meningkatkan program bantuan sosial, permodalan, kebijakan pajak yang progresif, peningkatan upah, pemerataan infrastuktur, dan keuangan yang inklusif adalah beberapa strategi yang bisa digunakan untuk mengurangi ketimpangan.

“Sebagai negara yang berpegang pada nilai – nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menjamin terciptanya keadilan pada setiap elemen masyarakat. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan persyaratan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia,” ungkapnya.

Pembicara kedua adalah Prof DR. Dwia Ariestina Pulubuhu. Rektor Universitas Hasanudin Makassar berdarah Gorontalo ini banyak menjelaskan tentang penyelesaian konflik sosial yang berkeadilan.

“Konflik bersumber dari ketidakadilan. Baik itu ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan ketidakadilan sosial,” ungkap Prof Dwia yang juga seorang ahli sosiolog ini.

Rektor perempuan pertama di Universitas Hasanudin ini menjelaskan secara historis konflik yang terjadi di Indonesia yang dimulai pasca kolonial, yakni politik devide et impera yang meninggalkan jejak sekat dan stratifikasi sosial berbasis identitas. Selain itu hal lainnya adalah latar belakang masyarakat Indonesia yang plural, baik itu pluralisme budaya, pluralisme politik, dan juga pluralisme power, serta secara geografis, masyarakat Indonesia memiliki akses berbeda terhadap sumber daya sosial, ekonomi dan politik.

Menurutnya ada beberapa isu utama konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia saat ini yang bersumber dari ketidakadilan. Yakni isu demokrasi dan desentralisasi, bentuk kekerasannya insisden terkait pilkada dan pemekaran. Isu konflik lahan; perebutan lahan dimana bentuk kekerasannya adalah perkelahian, penganiayaan, hingga pembunuhan.

Isu penegakan hukum yang lemah; dimana reaksi terhadap pelanggaran hukum, pelangaran moral, dan ketersinggungan dan bentuk kekerasannya adalah penganiayaan dan pengroyokan. Isu konflik indentitas adalah perbedaan suku, ras, dan agama, dimana bentuk kekerasannya yaitu perkelahian kelompok dan kerusuhan. Serta isu korupsi yang terkait dengan buruknya kinerja pemerintahan, dan bentuk kekerasannya adalah pengursakan dan demonstrasi.

Rektor Universitas Hasanudin, Prof DR. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA, bersama Rektor Universitas Widya Mataram: Prof Dr Edy Suandi Hamid M.Ec, saat diwawancara awak media usai kegiatan Konferensi Tahunan Keadilan Sosial yang digelar di Universitas Muhammdiyah Gorontalo. Foto : istimewa

Pembicara ketiga adalah rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo, DR. Dr. M. Isman Jusuf, Sp.S. Rektor dengan latar belakang seorang dokter spesialis saraf ini menjelaskan keadilan sosial dari sektor kesehatan, yakni dengan mendiagnosis stroke sebagai sosiosomatik sebagai sesuatu tinjauan neurologi sosial. Dalam paradigma konflik teori sosiologi kedokteran, stroke termasuk dalam sosiosomatik: penyakit yang ditandai dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan yang dipengaruhi determinan sosial.

Berdasarkan pemaparannya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia. Merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar 2007, dari 33 Provinsi di Indonesia, Provinsi Gorontalo menempati urutan ketiga nasional daerah dengan prevalensi stroke tertinggi setelah Aceh dan Kepulauan Riau. Sementara untuk Provinsi Gorontalo, prevalensi stroke tertinggi berada di Kabupaten Boalemo (2,1 %) dan Kabupaten Bone Bolango (1,9 %).

“Hal ini ditunjang pula dengan daerah Gorontalo termasuk salah satu provinsi dengan persentase penduduk merokok terbesar, prevalensi tinggi hipertensi, obesitas, penyakit jantung dan diabetes melitus,” ungkapnya.

Diakhir penjelasannya, rektor yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota Gorontalo ini memberi kesimpulan, bahwa mengurangi ketimpangan sosial dapat membantu mengatasi masalah kesehatan. Solusinya adalah mengurangi ketimpangan melalui perbaikan pendidikan, akses pelayanan kesehatan, dan program perlindungan sosial.

Usai ketiga pembicara kunci menyampaikan paparan mereka tentang keadilan sosial dari perspektif keilmuwan masing-masing, pada siang hari konferensi dilanjutkan dengan sesi paralel yang membahas lima tema besar; 1) Kesehatan, Pendidikan dan Kependudukan, 2) Pengelolaan Lingkungan dan Ketahanan Pangan, 3) Politik, Keamanan dan Tata Kelola Publik, 4) Bencana dan Perubahan Iklim, dan 5) Humanitas dan Industri.

Sore harinya, konferensi langsung ditutup dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Universitas Muhammadiyah Gorontalo dengan ISJN (Indonesia Social Justice Network). Pihak kampus diwakili langsung oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo, DR. Dr. M. Isman Jusuf, Sp.S dan Presidium ISJN diwakili oleh Martadinata Basyir. Kedua lembaga sepakat menjalin kerjasama untuk kegiatan-kegiatan di masa yang akan datang demi mewujudkan keadilan sosial di Gorontalo. [*]

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60