Pojok6.id (Opini) – Jika anda pernah melakukan perjalanan melalui jalur udara di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, maka anda akan menemukan banyak layanan fasilitas didalamnya. Salah satu fasilitas dasar yang paling sering dibutuhkan (field needs) oleh penumpang bandara adalah toilet. Khusus untuk para pria, banyak yang kaget dan heran karena terdapat seekor lalat yang sedang hinggap didalam urinoir. Lalat tersebut bukanlah serangga asli, melainkan hanya sebuah gambar yang dicetak di porselen urinoir.
Gambar lalat didalam urinoir tersebut sesungguhnya bertujuan untuk membantu para penggunanya agar selalu “fokus” untuk menembak “kesatu arah” (baca : lalat). Riset ini pertama kali dilakukan oleh Klaus Reichard yang merupakan founder sekaligus CEO of Waterless Company. Kemudian tahun 1990-an dilakukan uji coba urinoir tersebut di Bandara Schiphol Amsterdam. Reichard membuktikan bahwa ketika pria fokus menembak ke lalat tersebut, maka “efektifitas” jumlah air seni yang tercecer dari urinoir berkurang hingga 80 persen. Temuan ini juga membuat “efisiensi” biaya pekerjaan cleaning service di toilet bandara lebih hemat hingga 10 persen setiap tahun.
Seorang ekonom behavioral economist dan pemenang nobel dari Universitas Chicago USA, Gary Becker (1976) pernah mengemukakan bahwa perilaku bekerja secara fokus, akan membuat sesorang terhindar dari kerugian (loss aversion). Selain itu juga, bekerja secara fokus berbanding lurus dengan “efektifitas dan efisiensi”. Artinya, jika seseorang fokus dalam menyelesaikan pekerjaannya, maka secara ekonomis tujuannya tidak akan meleset dalam memilih alternatif keputusan (efektifitas), serta penggunaan sumberdaya yang tersedia akan lebih maksimal (efisiensi).
Begitu pula dengan penanganan pandemi Covid19 di Indonesia saat ini. Jika ingin mencapai efektifitas dan efisiensi, maka seluruh stakeholders harus fokus dalam mengatasi permasalahan utamanya. Dalam kondisi kompleks saat ini, dibutuhkan sebuah “strong leadership” dalam memilih alternatif-alternatif strategi kebijakan yang fokus utamanya pada penanganan kesehatan. Sebuah pepatah inggris mengatakan “health is wealth”. Jika rakyat sehat maka kesejahteraan (baca : ekonomi) secara otomatis akan meningkat.
Management of crisis di negara ini tidak boleh dikelola bagaikan sebuah “supermarket”, yaitu menyajikan semua bahan keperluan secara bersamaan. Ada sebuah skala prioritas yang harus didahulukan. Kita tidak akan dapat menyelesaikan semua pekerjaan secara optimal dalam satu waktu (multitasking), namun kita dapat menyelesaikan semua pekerjaan secara optimal bertahap satu persatu (singletasking).
Akibat multitasking, membuat fokus pemerintah teralihkan kepada faktor eksternal. Misalnya, ditengah pandemi Covid19 melanda rakyat lebih membutuhkan “fresh money”, namun pemerintah tidak memberikan pilihan. Semua dipukul rata dengan bantuan sosial berupa sembako (beras, minyak, gula, susu, dsb). Pada akhirnya fokus pemerintah teralihkan kepada pengawasan pengadaan barang dan jasa yang notabene peluang korupsinya cukup besar. Ditambah lagi dengan jatah bagi “oknum” politisi dari para partai pendukung pemerintah (koalisi), untuk memprioritaskan bantuan sosial ditebar didaerah pemilihannya.
Hal ini membuktikan bahwa pemerintah memiliki berbagai keterbatasan. Seperti yang pernah disebutkan para ekonom behavioral economist yaitu setiap individu (dalam hal ini pemerintah) memiliki pengendalian diri yang terbatas (limited self-control). Oleh karena itu, bekerjasama serta berbagi ide dan gagasan dari seluruh stakeholders akan mempermudah pekerjaan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid19.
Sudah saatnya bangsa ini fokus dan bersatu padu untuk berjuang melawan pandemi Covid19. Agar kita tidak terjebak dalam perangkap pandemi Covid19, serta diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Jika 76 tahun yang lalu semboyan Presiden Soekarno dalam melawan penjajah adalah “merdeka atau mati”, maka di hari kemerdekaan ini semboyan Presiden Jokowi dalam melawan pandemi Covid19 adalah “fokus atau mati”.