Pojok6.id (Opini) – Propinsi Gorontalo menjadi daya tarik tersendiri dalam pengenalan budaya yang bernuansa keisalaman, tentu saja ini berkaitan erat dengan slogan daerah sebagai Serambi Madinah.
Di Indonesia sendiri terdapat berbagai daerah yang mempunyai slogan seperti Yogyakarta sebagai kota Pendidikan, Solo sebagai kota budaya, Aceh sebagai kota serambi mekkah, serta Kendal sebagai kota santri, dikaitankannya Gorontalo sebagai kota Serambi Madinah tentunya bukanlah hal yang mudah, dimana masyarakat melalui adat istiadatnya menerapkan kaidah-kaidah keislaman yang menyatu dengan keseharian masyarakat Gorontalo.
Terdapat falsafah Gorontalo yang melekat pada abad 17 masehi yaitu “Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah” yang artinya setiap aktivitas kehidupan harus berdasarkan tuntutan syariat agama, sehingganya islam masuk di Gorontalo dapat diterima oleh sebagian masyarakat, karena dibarengi ataupun tidak menyampingkan adat istiadat yang sudah ada dalam trah dari sebuah kerjaan islam di Gorontalo.
Tumbilotohe adalah tradisi masyarakat Gorontalo jelang idul fitri, yaitu 3 Hari sebelum hari raya tiba. Indoensia sebagai agama dengan kekayaan budaya luar biasa, membuat masyarakat memiliki berbagai tradisi dibulan suci Ramadhan. Begitu pula dengan masyarakat Gorontalo yang mayoritas penduduknya adalah penganut agama islam, yang memiliki tradisi Tumbilotohe yang sudah berusia ratusan tahun.
Tumbilotohe berasal dari kata tumbilo yang berarti pasang dan tohe berarti lampu, Tumbilotohe adalah tradisi menyalakan lampu atau malam pasang lampu yang dimana pelaksanaanya menjelang magrib hingga pagi hari dan tradisi ini sebagai tanda akan berakhirnya bulan suci Ramadhan. Berawal dari keadaan Gorontalo belum mempunyai aliran listrik, yang dimana masyarakat pada zaman itu memiliki keterbatasan dalam menjalankan ibadah tarawih dan menyerahkan zakat fitrah dari rumah menuju masjid. Hal ini disebabkan akses malam hari dalam keadaan gelap gulita.
Tidak hanya menjadi tradisi, Tumbilotohe juga menjadi bagian penting dari syiar Islam yang dilakukan masyarakat Gorontalo tempo dulu dan menjadi tradisi yang mengakar dan terus dilestarikan. Keterkaitan inilah menjadi dorongan dan juga evaluasi bagi Suci Desrianty Machmud, yang saat ini mengambil jurusan ilmu komunikasi di Universitas Sebelas Maret sebagai pembahasan yang menarik khususnya masyarakat Gorontalo akan kesadaran pentingnya menjaga, merawat, dan mempertahankan suatu tradisi turun temurun bagi daerah tercinta.
Dalam perayaan Tumbilotohe sendiri, terdapat berbagai macam pelengkap yaitu lampu botol, alikusu, bunggo serta obor. Lampu botol dibuat dari bekas botol minum, yang menggunakan sumbu kompor beserta minyak tanah sebagai pelengkapnya. Alikusu, terdiri dari bambu kuning, janur, pohon pisang, dan tebu, alikusu ini diletakkan di pintu masuk rumah, kantor, masjid, pintu perbatasan daerah serta alikusu ini menyerupai kuba masjid. Bunggo, menjadikannya sebagai alat yang mengeluarkan bunyi dentuman yang kencang dalam perayaan Tumbilotohe, terbuat dari bambu pilihan. Obor, obor ini menjadi alat penerang warga dalam melakukan aktifitas malam hari. Ke-empat item tersebut adalah pelengkap Tumbilotohe yang patut disediakan oleh masyarakat Gorontalo. Namun seiring perkembangan zaman Tumbilotohe mengalami pergesaran yang besar dalam tatanan masyarakat, hal ini menjadi motivasi tersendiri bagi penulis untuk mengangkat judul “Teknologi digital dan perubahan komunikasi organisasi.
Persoalan mendasar dalam pergeseran budaya adalah menjadi topik terpenting dalam lingkup masyarakat. Pada hakikatnya, tidak ada masyarakat maka tidak ada pula budaya dan begitupun sebaliknya. Masyarakatlah yang akan melahirkan kebudayaan, dan budaya itupula diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya. Akan tetapi, dalam tatanan masyarakat Gorontalo terkait tradisi Tumbilotohe, terjadi asimiliasi dan pergeseran yang begitu besar hal ini menjadi keseriusan penulis untuk dianalisis secara mendalam. Adapun beberapa faktor penghambat dari asimiliasi adalah sebagai berikut :
• Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan dan kelompok lain dalam masyarakat
• Terisolasi kebudayaan oleh kelompok sosial
• Ada rasa takut dan kekhawatiran terhadap budaya lain
• Adanya perasaan bahwa suatu golongan kebudayaan tertentu lebih tinggi dibandingkan golongan kebudayaan lainnya
• Muncul diskriminasi antara kelompok yang berkuasa dengan kelompok minoritas
• Ada perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan pertentangan antar kelompok.
Dari beberapa faktor penghambat asimilasi terdapat pergeseran budaya, dimana pergeseran ini menjadi tugas besar oleh pemangku adat, pemerintah daerah, orang tua, dan bahkan lingkungan sekitar dalam membina masyarakat agar tetap merawat tradisi-tradisi yang sudah ada sejak lama.
Yang menjadi pertanyaannya, apakah ada yang salah dalam tradisi Tumbilotohe dimasa sekarang? Tentunya pasti telah terjadi pergeseran, yang dimana perayaan Tumbilotohe tidak secara utuh dan menyeluruh diketahui masyarakat Gorontalo yang berpenduduk 2 juta jiwa ini. Masyarkat Gorontalo pada masa kini menjadikannya Tumbilotohe sebagi suatu pusat keramaian, dan menjadikannya sebagai wisata malam. Pada hakikatnya, Tumbilotohe sendiri adalah adat istiadat oleh leluhur kita sebagai rasa ungkap syukur dan sedih karena akan berpisah dengan bulan suci Ramadhan, yang mungkin bisa jadi ini adalah Ramadhan terakir setiap insan masyarkat Gorontalo.
Disamping perayaan Tumbilotohe sebagai wisata malam, telah terjadi perubahan signifikan terhadap perlengkapan tumbilotohe itu sendiri, yang dimana lampu botol tersebut sudah dibarengi dengan lampu pijar yang mengunakan warna-warni yang terkesan telah jauh dari keaslian Tumbilotohe yang sudah hadir sejak pada abad Ke-17 masehi tersebut. Perubahan gaya komunikasi masyarakat pun sudah berubah, masuknya gaya barat dapat mempengaruhi tatanan budaya masyarkat kita hal ini terlihat peralatan-peralatan canggih yang digunakan dalam perayaan tradsisi masyarakat Gorontalo tersebut.
Dampak dari perubahan fenomena budaya dan tradisi masyrakat, membuat penulis ingin menambhakan pemahan berkaitan komunikasi yang ada dalam masyrakat, sepatutnya slogan “Adat Bersindikan Syara, Syara Bersindikan Kitabullah” patut diluaskan lagi dalam dunia Pendidikan dan dalam keseharian masyarakat. Mengingat peran sentral pendidikan dalam menjaga karakteristikan masyarakat harus dimulai dari lingkungan Pendidikan, lingkungan keluarga, sebelum melangkah menuju lingkuangan yang luas sudah harus memiliki modal seperti yang terdapat dalam slogan, agar tercapainya masyarakat yang menghormati keaslian dari sebuah tradisi dari generasi ke generasi berikutnya.
Hemat penulis dalam sebuah perubahan gaya komunikasi ini, menjadi diskursus penting dalam menjaga kebiasaan masyarakat dari perubahan ataupun propaganda dari bangsa barat, yang dapat merubah sistem maupun tradisi agar menyerupai trend-trend yang berkembang dan melupakan kebiasaan lama yang dianggap kuno atau tertinggal. Padahal sudah sepatutnya masyakat kita mejaga kultur serta kondisi peninggalan leluhur kita secara berkelanjutan, dengan mengedepankan aspek pendekatan secara kedaerahan ataupun melaui adat dan istiadat yang sudah melekat dalam diri masyarakat Gorontalo.
Harapan penulis meskipun terjadi perubahan zaman, tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat juga butuh teknologi digital sebagai motivasi dalam mengejar ketertinggalan pengetahuan, serta karya-karya yang mampu membantu masyarakat lebih maju dalam mengenal teknologi.
Terakhir penulis ingin memberikan solusi bagaimana masyarkat Gorontalo tidak tertinggal oleh zaman digital terbarukan, dan tetap menjaga tradisi adat istiadat, yaitu dengan cara mau menerima sebuah tantangan perubahan zaman dengan tidak menolak adanya perubahan teknologi, yang pada intinya dapat mempermudah akses serta menambah wawasan baru bagi masyarakat dan tetap memegang prinsip-prinsip atau kaidah adat Gorontalo sebagai kebutuhan mendasar dalam menjaga aturan, norma, nilai dan sistem hukum dalam bermasyarakat, agar tercipatanya keutuhan serta menjadikannya penjelmaan dari kepribadian suatu masyrakat atau suku untuk merawat pentingnya sebuah tradisi dalam suatu lingkungan bermasayarakat secara sukarela. (**)