Pojok6.id (Kriminal) – Dalam sidang lanjutan perkara dugaan pidana Batu Hitam ilegal Bone Bolango, salah satu dari empat Terdakwa Warga Negara Asing (WNA) asal Cina, Mr. Huang, mengakui tidak memiliki ijin pengangkutan.
Hal itu disampaikan Mr.Huang melalui penerjemahnya dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kota Gorontalo, Selasa (22/11/2022), saat Anggota Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo, Irwanto, menayakan kepada terdakwa ihwal izin angkut mineral pertambangan.
Melalui penerejemahnya, Mr.Huang menyampaikan, jika perusahaannya akan dijadikan perusahaan yang memiliki izin pengangkutan. Akan tetapi perizinannya tersebut belum selesai, atau masih berpores.
Disamping itu, terdakwa juga berdalih tidak mengetahui aturan hukum pertambangan di Indonesia. Sehingga pengurusan perizinan perusahaan itu diserahkan ke seseorang.
Lebih lanjut Irwanto menjelaskan, didalam undang-undang minerba diatur, memang ada perusahaan yang bisa melakukan pembelian, artinya perusahaan berbadan hukum, tapi tidak bergerak di pertambangan tapi bisa melakukan pembelian.
“Kalau perusahaan itu tidak begerak di jasa pertambangan dan melakukan pembelian, maka setiap kali melakukan pembelian harus ada izin. Bereda kalau perusahaan yang bergerak dijasa pertambangan,” ujar Irwanto.
Majelis hakim kemudian menanyakan, apakah perusahaan yang dijual oleh Riston kepada terdakwa itu masih melakukan pembelian Batu Galena ?
Terdakwa WNA China melalui penerjahnya mengatakan, “Pada saat perusahaan tersebut dijual, legalitas perusahaan masih sementara berproses, dan sejauh ini tidak pernah memakai perusahaan itu untuk melakukan pembelian”.
Terdakwa lantas mengakui, jika dirinya pernah membeli (Mineral) hanya secara pribadi.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama Ahli Pidana, Aprianto Nusa, yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum menjelaskan, bahwa didalam pasal 158 dan pasal 161 Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang minerba terdapat unsur kesengajaan terselubung yang melekat pada kedua pasal di atas, yaitu terkait pengetahuan sesorang mengenai apakah kegiatan pertambangan itu memiliki izin atau tidak.
Adapun kedudukan terdakwa selaku pembeli dapatkah dimintai pertanggungjawaban pidana sebgaimana dakwaan jaksa, menurut Apriyanto jika kita kongkritkan unsur pasal 161, maka posisi perbuatan terdakwa selaku “pembeli” tidak disebutkan dalam ketentuan pidana pertambangan sebagaimana dimaksud.
Sehubungan dengan penjelasan Aprianto Nusa terkait posisi perbuatan terdakwa selaku “pembeli” tidak disebutkan dalam ketentuan pidana pertambangan, anggota Majelis Hakim Irwanto menanyakan pendapat ahli, dari pasal 161 ini apakah diperlukan setiap penambang harus mempunyai izin ?
“Mohon maaf yang mulia, ahli tidak punya kapasitas menjawab itu,” ujar Aprianto.
“Terkait Pasal 158 dan 161 prinsipnya izin. Izin ini kan prinsipinya boleh atau tidak boleh, ada yang dilarang, ketika dilarang tentu membutuhkan izin, menurut Ahli, yang dibebani tanggung jawab terkait izin ini, apakah pembeli, apakah jasa pertambangan atau pemilik tambangnya ?, ini terkait pidananya,” tanya majelis Hakim.
“Mohon maaf Ahli tidak punya kapasitas terkait perizinan” ucap Aprianto.
Sehubungan dengan itu, jika merujuk ketentuan Pasal 1 angka 13c undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba, telah secara terang ditegaskan, bahwa Izin Pengangkutan dan Penjualan adalah izin usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang Mineral atau Batubara.
Jika ketentuan tersebut dihubungkan dengan kedudukan terdakwa selaku “pembeli”.
Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 161, disebutkan bahwa, Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan danf atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).