Amerika Serikat – Bulan suci Ramadan menjadi saat bagi umat Muslim, di mana pun berada untuk memenuhi salah satu dari lima rukun Islam, yaitu berpuasa. Di mana pun berpuasa itu pada dasarnya sama.
Menjalani ibadah puasa di Amerika tidak banyak berbeda dari di Indonesia. Hanya suasananya yang barangkali agak beda. Maklum mayoritas penduduk di negeri ini bukan Muslim melainkan penganut agama lain, umumnya Nasrani. Namun, itu tidak jadi kendala bagi Muslim untuk melaksanakan puasa atau ajaran lain Islam.
Perbedaan dari di Indonesia, misalnya, adalah soal waktu. Seperti diketahui, iklim di Amerika terbagi ke dalam empat musim yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Ini berdampak besar pada bagaimana orang menjalani puasa dari tahun ke tahun. Bila Ramadan jatuh pada musim dingin maka berpuasa terasa lebih mudah dan ringan. Sebab, waktu siang hari menjadi lebih pendek sehingga orang tidak harus berpuasa lama. Selain itu, karena udara dingin, Muslim yang menjalankan puasa tidak gampang haus dan tidak berkeringat sebanyak, misalnya saat musim panas.
Keadaan menjadi sebaliknya jika bulan puasa jatuh pada musim panas. Ramadan di Amerika tahun ini jatuh pada musim semi menjelang musim panas. Cuaca mulai panas dan sering hujan. Berpuasa mulai terasa berat sebab waktu berpuasa memang cukup panjang rata-rata 15 jam sehari dengan suhu udara di atas 50 derajat Fahrenheit atau 10 derajat Celcius.
Di beberapa negara Eropa Utara, seperti Norwegia, Swedia dan Islandia, waktu berpuasa bisa rata-rata mencapai 20 jam atau lebih pada musim panas. Dan di beberapa tempat di atas Kutub Utara, matahari tidak pernah terbenam pada musim panas. Dalam hal ini majelis agama Islam menetapkan Muslim boleh berpuasa sesuai dengan waktu yang berlaku di negara Muslim terdekat atau berpuasa dengan waktu yang berlaku di Mekah.
Sama halnya dengan di Indonesia, Ramadan biasanya diisi dengan berbagai kegiatan, seperti salat tarawih di masjid atau di rumah-rumah yang biasanya dilakukan bergilir.
Bagi Muslim asal Indonesia di Amerika barangkali yang terasa hilang dari suasana bulan Ramadan adalah juadah, penganan untuk berbuka puasa. Makanan berlimpah tetapi tidak sama dengan di Indonesia.
“Pada bulan Ramadan kami berpuasa selama 30 hari. Saya tidak makan apa-apa dari subuh sampai magrib dan saya juga tidak makan di sekolah. Kalau saya pergi ke masjid, di sana juga tidak ada orang yang makan…dan saya lapar sekali,” kata seorang anak laki-laki.
Pada Ramadan kali ini, suasana ibadah di Amerika Serikat diliputi oleh kekhawatiran mengenai masalah keamanan.
Dengan tragedi yang terjadi belakangan ini seperti penembakan di masjid di Selandia Baru, penembakan di sinagoga di San Diego sudah wajar masjid sekarang sangat mengutamakan keamanan. Keamanan tadinya juga ada hanya sekarang diperkuat.
Berdasarkan angka Biro Penyelidikan Federal (FBI) kejahatan kebencian berdasarkan agama terus bertambah dengan sasaran utama Yahudi dan Muslim. Pada 2017, tercatat ada 273 insiden anti Muslim di Amerika. Dengan hal ini, umat Muslim senantiasa waspada akan keamanan lingkungan masjid. Apalagi pada bulan puasa masjid selalu dipenuhi umat. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia