Yogyakarta – Poniman, warga Sleman, DIY tertawa lebar ketika ditanya VOA, mengapa akan menerima uang jika Calon Legislatif (Caleg) memberikan. “Saya tahu, mungkin dia nanti korupsi biar uangnya kembali. Tapi kalau nggak terima sekarang, nanti kalau sudah jadi, dia lupa pada kita,” ujarnya memberi alasan.
Politik uang itu seperti gas dari perut, tercium baunya tetapi tidak kelihatan. Ini adalah masa dimana banyak bantuan turun ke masyarakat. Pengeras suara, seperangkat tenda, hingga perbaikan gang atau saluran air. Sebagai imbal balik, warga menyerahkan suaranya ke Caleg bersangkutan. Tidak ada bukti pembayaran dan jaminan pemberian suara. Hanya saling percaya.
Namun, ada juga yang tak mau melakukan itu. Wahyu Subekti Kurniawati salah satunya. Perempuan ini maju sebagai Caleg DPRD Kabupaten Bantul, DIY dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia mengaku yakin dengan pilihan strateginya dan konsisten sampai sekarang. Sekjend Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Bantul ini selalu mengajak rekan-rekannya bermain politik bersih. Resikonya, kata Wahyu, dianggap terlalu idealis.
“Saya bilang ke kawan-kawan, kalau idealisme ini sama dengan tidak terpilih, maka saya siap dengan resiko ini. Saya Caleg nomor 1, kansnya besar. Tetapi saya idealis, bisa saja tidak jadi. Kalau idealisme ini resikonya tidak jadi, maka saya ambil resiko ini,” kata Wahyu kepada VOA.
Meski mengaku optimis, Wahyu mengaku situasi masyarakat pemilih saat ini memprihatinkan. Caleg menghadapi kondisi rawan politik uang. Mereka juga harus bersaing dengan Caleg dari 16 partai peserta Pemilu. Dalam proses kampanye, isu-isu Caleg juga kalah gaungnya dari isu Pilpres. Di PKS, kata Wahyu, dalam seminggu rata-rata setiap Caleg menghadiri hingga 15 forum pertemuan dengan pemilih. Forum ini menjadi ajang edukasi sekaligus memberi pemahaman betapa bahayanya politik uang.
“Saya lebih suka bertemu dengan ibu-ibu dari pada bapak-bapak. Karena ibu-ibu lebih mudah tersentuh hatinya. Bisa diajak merenung, lima tahun sekali memilih tetapi tidak ada hasilnya. Saya ceritakan bagaimana seharusnya politik itu. Banyak yang mendukung, dan mau menjadi tim relawan. Saya percaya, kalau kita niatnya sudah bagus, pengen ketemu orang baik, di lapangan ketemunya orang-orang baik,” kata Wahyu Subekti Kurniawati.
Mungkinkah Tanpa Politik Uang?
Hari Selasa (19/2), IDEA Yogyakarta mengumpulkan 64 Caleg perempuan di DIY untuk melatih mereka berkampanye tanpa politik uang. Isu ini penting, karena menurut data CSIS pada 2018, jumlah pemilih yang menganggap politik uang hal biasa masih sangat tinggi. Angkanya mencapai 40,5 persen di Jawa Barat dan Sumatera Utara, 48,7 persen di Jawa Tengah dan 43,9 persen di Sumatera Selatan. “Politik berbiaya tinggi karena praktik kotor tersebut menghasilkan anggota dewan yang korup dan tidak peduli terhadap kepentingan jangka panjang konstituennya,” kata Galih Pramilu Bhakti dari IDEA.
Ahmah Hedar, peneliti IDEA meyakinkan kepada para Caleg, kampanye bersih bukan soal menang atau kalah. Lebih penting lagi, ini adalah komitmen menyambut kontentasi Pemilu tanpa praktik politik uang. Caleg hanya harus pandai membaca daerah pemilihannya sendiri. Tokoh-tokoh lokal, bisa digerakkan, bukan untuk menyebar uang, tetapi membantu sosialisasi program.
Kuncinya, kata Hedar, ada konsensus bersama antar partai untuk menyelenggarakan Pemilu bersih. Jika partai dan Caleg memiliki kesamaan sikap, masyarakat tidak akan apatis lagi.
“Iklim apatis itu karena satu dua Caleg atau partai melakukan politik uang, sedangkan yang lain susah payah berkampanye. Memang belum bisa di Pemilu 2019 ini, tetapi ke depan kalau dari seluruh partai menghindari atau tidak menggunakan politik uang, kita optimis kampanye akan ditekankan pada jualan program,” kata Ahmad Hedar.
Selain itu, Ahmad juga menggarisbawahi, bahwa Caleg tidak bisa muncul secara instan. Dia harus memiliki investasi sosial sebelum berkiprah di politik. Caleg berusia muda didorong untuk menjadikan Pemilu 2019 ini sebagai wahana belajar. Mereka bisa menyiapkan diri dengan peran sosial lebih besar di masyarakat dalam lima tahun ke depan, sebelum berlaga lagi di 2024.
Selain peran sosial, popularitas juga penting dimiliki. Bambang Eka Cahya, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menekankan para Caleg agar memiliki daya tarik bagi media. Popularitas bisa dibantu dengan publikasi melalui media massa. Langkah ini memang tidak mudah, tetapi penting.
Pembuktian yang Sulit
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, Sutrisnowati menyoroti modal sosial yang dimiliki seorang Caleg. Jika kiprahnya sudah diakui masyarakat, Caleg sebenarnya bisa maju tanpa melakukan politik uang. Sutrisnowati membuktikan, ada proses pemilihan kepala desa di DIY yang sama sekali bebas politik uang. Calonnya justru didorong oleh masyarakat karena memiliki rekam jejak yang bagus. Hal ini semestinya bisa menjadi contoh bagi para Caleg.
Terkait politik uang, kata Sutrisnowati, setiap daerah memiliki potensinya. Masalahnya adalah ada pihak pemberi dan penerima. Ada juga yang terus terang meminta. Isu ini masih menjadi perhatian besar bagi Bawaslu, terutama karena proses pembuktiannya tidak sederhana.
Faktor lain yang membuat praktik ini susah dibasmi adalah karena pelapor harus siap bersaksi secara terbuka dan memiliki bukti cukup. Soal identitas pelapor ini menjadi polemik, karena kadang justru pelapor mendapat respon negatif dari tetangga sendiri karena dianggap tak kompak menjual suara.
“Money politics itu belum diakui sebagai kejahatan luar biasa. Saat ini kami berupaya, kami advokasi agar money politic menjadi kejahatan luar biasa, karena akan berimplikasi yang lapor identitasnya bisa dirahasiakan atau mendapat perlindungan. Ada pengalaman di DIY, yang lapor justru dikucilkan dan dibenci masyarakat, dia kemudian tidak diikutkan dalam kegiatan sosial,” kata Sutrisnowati.
Undang-undang No. 7 tahun 2017 pasal 285 dan 286 sudah mengatur upaya pencegahan praktik politik uang. Ada sanksi pembatalan nama calon anggota legislatif dari Daftar Calon Tetap (DCT) dan pembatalan penetapan calon anggota legislatif sebagai calon terpilih jika melakukan praktik ini. Sayangnya, aturan itu terkendala banyak faktor dan seolah tak pernah dianggap ada. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia