JAKARTA – Pemerintah berencana menaikkan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan pada Januari 2020 mendatang, agar defisit yang dialami tidak semakin besar. Pihak DPR RI menilai sebelum menaikkan iuran, pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu berbenah diri, salah satunya pemutakhiran data.
Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk DPR RI. Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf, mendorong pemerintah dan BPJS Kesehatan melakukan sejumlah perbaikan sebelum menaikkan iuran kepesertaan tersebut. Dede menjelaskan salah satunya adalah pemutakhiran data.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan, kata Dede, harus bekerjasama dengan Kementerian Sosial (Kemensos) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk menelusuri kembali apakah masyarakat Penerima Bantuan Iuran (PBI) sudah tepat sasaran.
Ia mengklaim, setiap tahunnya ada jutaan data yang harus divalidasi kembali bagi masyarakat yang menerima PBI tersebut.
“Kita minta data cleansing, dari Kemensos, Dukcapil, kita minta validasi sehingga yang mendapatkan PBI itu benar-benar orang yang berhak. Selama ini baik Kemensos, Kemenkes selalu menemukan tiap tahun ada dua juta orang yang harus divalidasi kembali. Artinya dia bisa sudah tidak miskin, sudah punya pekerjaan, atau mungkin meninggal. Itu harus divalidasi dan ternyata dalam raker gabungan masih ada 10 juta lebih yang harus di cleansing. Berarti kita minta ini diselesaikan terlebih dahulu,” ungkap Dede saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (5/9).
Ditambahkannya, selain pemutakhiran data, ia meminta pemerintah dan BPJS kesehatan menuntaskan permasalahan yang ada terlebih dahulu seperti utang-utang yang menumpuk di sejumlah rumah sakit (RS), sehingga pelayanannya menjadi lebih baik. Menurutnya, dengan pelayanannya baik, masyarakat pun tidak akan keberatan untuk membayar lebih tinggi.
“Yang kita harapkan sebelum berbicara kenaikan premi di 2020 itu harus ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan. Perbaikan yang harus dilakukan tentu utang-utang kepada RS, membuat RS agak sedikit mungkin agak berat menjalankan BPJS. Itu harus dilunasi, farmasi yang hampir Rp6 triliun utang-utangnya, itu juga harus dilunasi. Berikutnya tentu perbaikan pelayanan, karena kalau pelayanannya baik, saya yakin rakyat pun membayar tidak ada masalah,” jelasnya.
Ia tetap menolak kenaikan iuran kepersertaan untuk kelas III, karena dipastikan akan semakin membebani masyarakat miskin. Sementara untuk kelas I dan kelas II, pihaknya menyerahkan kepada pemerintah. Menurutnya pemerintah harus mendalami kenaikan untuk kelas I dan II ini, karena berkaitan dengan perusahaan yang akan membayar premi lebih besar untuk karyawannya. Ia tidak ingin timbul masalah baru, yaitu adanya penolakan dari perusahaan-perusahaan tersebut.
DJSN : Penyesuaian Iuran BPJS Perlu Untuk Tanggulangi Defisit
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Angger Yuwono mengatakan guna menanggulangi defisit BPJS Kesehatan, memang penyesuaian iuran harus dilakukan. Idealnya, penyesuaian iuran ini harus dilakukan setiap dua tahun sekali, dan sudah empat tahun lamanya BPJS Kesehatan tidak melakukan penyesuaian tersebut.
Memasuki tahun ke-6 BPJS Kesehatan, kata Angger memang perlu banyak yang dibenahi. Menurutnya untuk bisa stabil setidaknya Indonesia butuh waktu 20 tahun agar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan dengan baik.
“Disesuaikan berdasarkan perkembangan pembiayaan program ini, dan kebetulan perkembangan pembiayaan program ini ada ketidakseimbangan yang semakin lama semakin curam, sehingga dibutuhkan untuk supaya tidak defisit dibutuhkan penyesuaian iuran yang begitu besar. Memang ini tidak populer, tapi ini solusi. Saat ini ada bargaining antara pemerintah dan DPR. Pertanyaannya apakah ketidakseimbangan itu akan dibebankan kepada peserta? Karena usulan iuran DJSN dibebankan kepada peserta sesuai dengan desain programnya sendiri kepada peserta untuk peserta. Bargaining-nya adalah mungkin sebagian dibebankan oleh kepada peserta dalam bentuk iuran yang tidak signifikan, tetapi kenaikan iuran yang tidak signifikan akan menghasilkan defisit dan defisit ditalangi oleh pemerintah melalui sumber apapun yang ada di pemerintah,” jelas Angger.
Ia menjelaskan, memang yang paling banyak menunggak iuran adalah peserta BPJS mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) yang jumlahnya mencapai 32 juta. Dari jumlah tersebut hanya 55 persen yang aktif membayar iuran. Itulah yang menyebabkan defisit BPJS Kesehatan semakin tinggi.
Menko PMK : Meski Ditolak DPR, Pemerintah & BPJS Tetap Naikkan Iuran
Sementara itu, Menko PMK Puan Maharani mengatakan walaupun ada penolakan dari DPRI RI, pemerintah dan BPJS Kesehatan akan tetap menaikkan iuran kepesertaan. Pihaknya pun akan melakukan apa yang disarankan oleh DPR terkait pemutakhiran data dan juga memperbaiki sejumlah hal sebelum nantinya kenaikkan ini terjadi.
“Jadi ini akan tetap kita lakukan dengan penguatan-penguatan di sektor-sektor yang memang perlu diperbaiki. Kemudian, apa yang menjadi hasil raker di DPR akan kami tindaklanjuti. Dan tentu saja kemudian bagaimana Kemenkes dengan BPJS melakukan apa yang harus dilakukan sesuai dengan hasil review BPKP yang harus ditindaklanjuti. Tetap akan dilakukan karena memang sudah waktunya dilakukan. Dan ini sudah lima tahun tidak ada kenaikan. Dan ini tidak serta merta harus segera kita laksanakan, namun akan kita laksanakan nanti pada 1 Januari 2020,” ungkap Puan.
Menurutnya, payung hukum terkait kenaikan iuran ini berupa Peraturan Presiden (Perpres) sedang dalam proses dan akan segera ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo. Ia harapkan Perpres tersebut sudah selesai dalam Oktober mendatang.
Sebelumnya, muncul rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta kelas I dan II per Januari 2020. Iuran peserta kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu, sementara kelas II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia