Pojok6.id (Jakarta) – Yayasan Pesisir Lestari dan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bertepatan dengan peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional 2023 yang bertemakan “Dari Persetujuan ke Tindakan: Bangun Kembali Keanekaragaman Hayati,” sepakat untuk mengajak publik dan para pengambil kebijakan untuk memberikan ruang yang lebih luas pada pendekatan konservasi yang berbasis HAM, mengusung semangat kolaborasi dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan lokal termasuk di wilayah pesisir.
Pendekatan ini tidak terlepas dari komitmen Indonesia untuk mendukung implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dalam COP-15 Convention on Biological Biodiversity yang diadakan Desember 2022.
Di Indonesia nelayan skala kecil merupakan penyumbang 60% dari total produksi perikanan nasional dan lebih dari 50% konsumsi protein kita berasal dari makanan laut. Dalam konteks konservasi, masyarakat adalah entitas yang paling dekat dengan wilayah konservasi dan memiliki peran sentral untuk berpartisipasi dalam menjaga dan mengelola kawasan secara efektif.
Rayhan Dudayev, Manager Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari, menjelaskan, “Dengan konsep konservasi kolaboratif, secara paralel kita tidak hanya melindungi ekosistem pesisir secara inklusif dan berkelanjutan tapi sekaligus pula menjaga ketahanan pangan bagi nelayan kecil dan kita semua.”
Lebih lanjut, Rayhan menjelaskan, konsep pengelolaan konservasi kolaboratif memiliki tujuan yang sejalan dengan konsep yang dijalankan pemerintah nasional dan daerah yaitu untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya yang berkelanjutan.
“Yang menjadi pembedanya adalah pelibatan para pihak secara setara untuk melakukan, saling menguatkan dan mendukung pengelolaan konservasi.”
Berbagai praktik pengelolaan telah secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat di nusantara. Sebagai contoh, di Wakatobi, terdapat praktik Parimpari yang merupakan model pengelolaan dan konservasi berbasis adat yang dilakukan dengan menutup suatu wilayah tertentu dan/atau melarang penangkapan spesies ikan dan/atau tanaman dalam kurun waktu yang ditentukan melalui musyawarah adat. Di Maluku dan Papua, praktik dengan model pengelolaan yang sama biasa disebut sebagai Sasi.
Dalam kesempatan ini, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) kembali menyoroti pentingnya untuk melakukan penyempurnaan pada Draft Rancangan Undang-Undang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE). Terutama terkait dengan kesepakatan Kunming-Montreal Biodiversity Framework yang telah membawa intensi yang baik dalam melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumberdaya, dan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh komunitas tersebut.
Cindy Julianty, Program Manager WGII memaparkan, dalam mencegah dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati, tentu pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, dibutuhkan
kolaborasi dan perubahan pendekatan terhadap tata kelola keanekaragaman hayati di Indonesia.
“RUU KSDAHE yang diusulkan DPR RI dapat menjadi peluang, namun dibutuhkan penyempurnaan misalnya terkait dengan partisipasi yang bermakna, pengakuan hak-hak masyarakat dan praktik konservasinya (ICCAs) yang seharusnya lebih mudah dan berbiaya murah, penerapan prinsip PADIATAPA dalam penetapan kawasan konservasi dan akses terhadap pengetahuan tradisional, hal ini sejalan dengan beberapa target yang dimandatkan KM-GBF. Faktanya masyarakat adat dan lokal sudah mempraktikkan konservasi sebelum adanya UU No.5 Tahun 1990,”
Working Group ICCAs Indonesia sendiri mencatat lebih dari 470.000 hektar wilayah yang dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat dan lokal, dengan estimasi potensi luasan mencapai 4,2 juta hektar, angka ini tentu masih dapat berkembang, mengingat angka wilayah adat yang didaftarkan di BRWA telah mencapai 24 juta hektar.
“Dalam berbagai laporan global yang diterbitkan ICCA Consortium dan RRI disebutkan bahwa masyarakat adat dan lokal melindungi sekitar 21% wilayah bumi, dan berada disekitar 22% wilayah dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, bahkan 80% sisa keanekaragaman hayati berada di wilayah yang mereka kelola. Maka sudah sepantasnya kontribusi masyarakat adat dan lokal juga diakui dan dihitung sebagai bagian dari upaya konservasi keanekaragaman hayati, dengan mekanisme pengakuan yang lebih layak” tambah Cindy.
Sejalan dengan ini, Rayhan menambahkan, “melindungi ekosistem pesisir secara inklusif, dapat ditempuh dengan memberikan dasar hukum dan dukungan anggaran bagi pengelolaan pesisir berbasis masyarakat melalui OECM (Other Effective area-based Conservation Measures), mengakui pengetahuan lokal sebagai dasar penyusunan kebijakan konservasi, dan memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat untuk menjadi bagian penting dari pengelola kawasan konservasi.”
Sayangnya hingga saat ini, pengaturan mengenai OECM masih belum komprehensif untuk mengintegrasikan kolaborasi masyarakat dalam mencapai target CBD. Kementeria Kelautan dan Perikanan dalam MPA Vision 2030 menjabarkan langkah-langkah integrasi OECM melalui: (1) pengembangan definisi dan kriteria OECM yang jelas sesuai dengan konteks Indonesia; (2) identifikasi wilayah-wilayah kelola masyarakat; dan (3) mengembangkan dan mendiseminasikan acuan standar operasional bagi wilayah kelola masyarakat agar dapat diakui sebagai kontribusi terhadap target. Integrasi OECM sebagaimana dijabarkan dalam MPA Vision 2030 penting diintegrasikan ke dalam rumusan RUU KSDAHE dan diharapkan mampu menjadi katalisator untuk terwujudnya praktik konservasi kolaboratif yang lebih luas di Indonesia.