Yogyakarta – Hari Rabu (20/2) siang, di SMKN 3 Yogyakarta, seorang siswa berselisih dengan gurunya. Kejadian itu direkam siswa lain, yang kemudian membaginya di media sosial dan menjadi viral. Masyarakat pun geram, karena menganggap tidak ada rasa hormat sedikit pun dari para siswa kepada gurunya. Apalagi, siswa di kelas itu justru bersorak sorai, dan salah satu berteriak open fight, meminta keduanya berkelahi.
Menurut Bujang Basri, kepala sekolah setempat, guru meminta siswa tidak memegang telepon genggam di sekolah karena ulangan akan dimulai.
“Rebutan HP sebetulnya, dari keterangan teman-teman sekelasnya, anak itu bukan mau menantang tetapi ingin minta HP-nya kembali, tetapi guru tetap tidak mau memberikan. Di meja guru ada tas guru tersebut yang ada laptop-nya, itu dijadikan sandera oleh anak tersebut. Sambil pegang tas dia minta HP-nya dikembalikan,” kata Bujang Basri.
Kamis (21/02) siang, di hadapan kepala sekolah, polisi, guru bersangkutan dan orang tuanya, siswa yang namanya dirahasiakan itu meminta maaf. Alasan dia tak mau menyerahkan telepon genggam menjelang ulangan pun terkuak. “Saya masih balas WA teman-teman, nanti malah ganggu ujian,” kata siswa itu.
Basri menegaskan, tidak ada ancaman dan kekerasan dalam peristiwa tersebut. Namun dia mengakui, tindakan siswa itu tidak pantas. Permasalahan ini menjadi besar, karena video tersebar luas di masyarakat. Siswa juga sudah meminta maaf kepada guru bersangkutan dan berjanji tidak mengulangi. Siswa kelas 10 itu tahun lalu tidak naik, menurut Basri karena faktor nilai dan catatan membolosnya. Tahun ini, dia kembali mendaftar dan kembali duduk di kelas 10.
Libatkan Pihak Lain
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo kepada VOA mengaku situasi semacam ini tidak sederhana. Pada dasarnya, guru adalah aparatur negara. Guru menjadi representasi negara dalam bidang pendidikan. Negara, kata Heru, sesuai Deklarasi Hak Asasi Manusia, harus bertindak sesuai pedoman itu. Guru harus menghormati, melindungi dan memenuhi kebutuhan pembelajaran siswa. Karenanuya, guru tidak dibenarkan melakuan pembelajaran dengan kekerasan verbal maupun non verbal.
Salah satu jalan keluarnya, kata Heru, pemerintah harus memberikan pelatihan kepada guru terkait kompetensi kepribadian. Melalui pelatihan ini, guru dididik mampu mengajar dengan baik sesuai indikator kepribadian. Selain itu, guru juga didorong menyelesaikan masalah dengan koordinasi bersama, tidak mengambil langkah sendirian.
“Guru bisa melakukan pendekatan individu. Jika ternyata tidak mampu menjinakkan siswa itu, bisa menggunakan bagian dari sekolah yang menangani, yaitu bagian Bimbingan dan Konseling (BK), bekerja sama dengan Bagian Kesiswaan dan kepala sekolah. Undang juga orang tua dan siswa itu, untuk menyelesaikan masalah,” papar Heru.
Jika pada satu titik siswa tidak bisa dibina dengan pendekatan kognitif, Heru merekomendasikan keterlibatan pihak luar sekolah. Dalam hal ini, Dinas Sosial bisa mengambil peran untuk melakukan pembinaan pendekatan ketrampilan, baik psikomotorik ataupun yang lain. Siswa yang bengal, kata Heru, butuh pendekatan lintas sektoral bahkan kadang melibatkan kepolisian.
“Ketika siswanya itu bengalnya luar biasa, tidak bisa diselesaikan, maka alternatifnya, hak pembelajarannya tetap diberikan tetapi penanganannya dilimpahkan ke Dinas Sosial. Karena Dinas Sosial mempunyai berbagai macam cara untuk menangani siswa yang mempunyai kenakalan luar biasa. Serta mempunyai tempat untuk melakukan pembinaan itu,” kata Heru Purnomo.
Bukan Hanya Kewajiban Sekolah
Pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi tidak pihak secara bersamaan. Pengamat pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof. Wuryadi memaparkan itu ketika dihubungi VOA. Menurutnya, siswa dibentuk oleh sekolah, keluarga dan masyarakat. Jika muncul persoalan, tanggung jawab juga tidak dapat dijatuhkan hanya pada sekolah, atau lebih kecil lagi, hanya kepada guru.
Ketiga pihak itu, kata Wuryadi menjadi pusat pendidikan dan setiap pihak harus bisa dikoordinasi dalam keselarasan. Meskipun memiliki peran sendiri-sendiri, tetapi setiap pihak tidak boleh berperan sendirian tanpa terkait dengan dua pihak lainnya. Jika salah satu timpang, masalah akan timbul. Siswa yang bermasalah di sekolah, mayoritas berawal dari persoalan dalam keluarga.
“Anak-anak itu kadang mengalami kelainan sikap, karena di keluarga tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Kadang-kadang orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya dan anak seolah-olah hanya diserahkan kepada sekolah untuk dididik. Di rumah tidak pernah mendapatkan sentuhan orang tua. Anak-anak ini lebih banyak mendapatkan masukan dari berbagai sumber yang tidak kompeten, antara lain internet,” kata Wuryadi.
Wuryadi merekomendasikan, jika muncul kasus kekerasan yang dilakukan siswa, maka akar permasalahanya harus dicari. Guru, orang tua dan masyaraka harus memiliki pertanyaan mendasar, mengapa hal itu terjadi.
Di era lalu, tambah Wuryadi, hubungan guru dan siswa diwarnai rasa hormat yang besar. Kini ada pergeseran budaya. “Kita tidak bisa melupakan bahwa budaya kita adalah budaya digital. Komunikasi dari luar itu lebih banyak terjadi daripada komunikasi di dalam. Baik itu di dalam keluarga, di dalam sekolah, maupun di masyarakat setempat. Anak-anak ini mendapat pengaruh justru dari luar karena teknologi itu,” tambah Wuryadi.
Kasus kekerasan terus terjadi di sekolah, baik menempatkan guru sebagai pelaku maupun korban. Pada Februari 2018, seorang guru di Sampang bahkan meninggal dianiaya siswanya. Setelah itu, guru menjadi korban kekerasan siswa terjadi juga di Kendal, Kendari, Gresik serta Yogyakarta. Dalam menangani siswa semacam ini, guru menghadapi dilema. Berlaku keras terancam hukum, jika lemah maka akan kehilangan marwah. Ibarat maju kena, mundur kena. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia