Oleh: Muh. Amin Dali (Mediator Non Hakim)
Pojok6.id (Opini) – Salah satu polemik yang cukup menarik untuk dibahas adalah nikah siri. Setiap peristiwa nikah hendaknya harus dicatat di depan pegawai pencatat nikah. Nikah yang tidak dicatat masuk dalam nikah siri, sehingga memiliki implikasi yang cukup besar, salah satunya sulitnya pembagian harta bersama dalam pernikahan dan berbagai persoalan lainnya.
Nikah siri dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama, nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki perempuan tanpa diketahui oleh keluarga kedua belah pihak mempelai. Biasanya dilakukan tanpa terpenuhinya syarat dan rukun nikah secara sempurna. Kedua, nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dalam arti pasangan mempelai tidak mendaftarkan dan tidak mencatatkan perkawinannya kepada Majlis Agama atau Kantor Usrusan Agama (KUA), sehingga kedua pasangan tidak mempunyai akta nikah. Nikah siri yang dimaksudkan di sini yaitu nikah yang tidak dicatatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri diartikan sebagai pernikahan yang tidak melalui Kantor Urusan Agama, namun menurut agama Islam sudah sah.
Akhir-akhir ini sesuai dengan data yang kami dapatkan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo, ditahun 2021 ada sekitar kurang lebih 900 pasangan nikah siri di Provinsi Gorontalo.
Pernikahan yang tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan di dalam undang-undang, akan menimbulkan masalah tersendiri bagi pasangan tersebut. Di antaranya yaitu salah satu pasangan yang merasa dirugikan, akan sulit menuntut hak-haknya terhadap harta bersama, perwalian terhadap anaknya, dan lain sebagainya.
Nikah sirri merupakan fenomena yang ada dan terjadi di tengah tengah masyarakat Indonesia. Adanya dualisme aturan dalam melaksanakan perkawinan umat Islam di Indonesia menimbulkan polemik di kalangan ulama yang pro dan anti terhadap pembaruan hukum Islam. Walaupun aturan pencatatan perkawinan itu sudah termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tetapi sebagian masyarakat masih melaksanakan perkawinannya dengan cara sirri atau di bawah tangan.
Melihat kepada kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut,dipahami adanya beberapa problem yang terjadi terkait dengan masalah pencatatanpernikahan ini, diantaranya adalah problem sosiologis. Problem sosiologis adalah kondisi dan praktek masyarakat yang menyimpang dari rumusan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Adanya sebagian masyarakat yang tidak mengurus administrasi pencatatan perkawinannya. Berkaitan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan muncul berbagai istilah yang terlanjur populer di kalangan masyarakat, seperti sebutan kawin liar, kawin lari, Kawin Sirri atau perkawinan di bawah tangan, ada yang menyebut kawin syar'i dan ada juga yang menyebut kawin modin dan kawin kiyai.
Berbagai istilah dimaksud masih perlu dikritisi untuk menyebutkan bahwa semua perkawinan itu maksudnya adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara Agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun masalah pencatatan perkawinan telah disosialisasikan cukup lama, dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Pasal 5 dan 6 KHI, tetapi sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala dalam pelaksanaannya. Di antara penyebabnya adalah sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh kepadaperspektif Fikih tradisional. Menurut pemahaman mereka perkawinansudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di KUA dan tidak perlu Surat Nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman Rasulullah SAW.
Dapat disimpulkan, bahwa dalam kajian sosiologi hukum di Indonesia, khususnya hukum Islam, penolakan terhadap wacana mempidanakan pelaku nikah siri memang didominasi oleh kalangan ulama yang berafiliasi secara kuat kepada mazhab Syafii. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu; pertama, kultur sosial umat Islam yang tidak merespon perubahan terhadap tradisi keagamaan mereka; kedua, keyakinan keagamaan umat Islam Indonesia yang masih berpegang teguh kepada mazhab Syafii; ketiga,UU dan KHI serta praktek yang ada di Pengadilan Agama sepertinya melegalkannya terjadinya nikah siri.
Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat diambil untuk meminimalisir nikah siri di Indonesia adalah dengan membuat aturan yang tegas dan tidak multitafsir. Kalaupun hal itu tidak bisa dilakukan, maka untuk menyelamatkan dan memberikan kepastian hukum bagi generasi-generasi hasil pernikahan siri itu adalah dengan membuat regulasi yang jelas untuk melanjutkan program-program itsbat nikah di Pengadilan Agama secara lebih agresif dan berkesinambungan.