Jakarta – Setelah menjalani hukuman penjara selama satu tahun delapan bulan 15 hari karena divonis bersalah dalam kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hari Kamis (24/1) menghirup udara bebas.
Ahok divonis hukuman dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Mei 2017 karena memenuhi unsur pasal 156a KUHPidana yang bersumber dari Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ahok dinilai bersalah karena dalam kunjungannya ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, di hadapan ratusan warga dan pemuka masyarakat, mengatakan “… khan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, enggak bisa pilih saya karena dibohongi pake surat Al Maidah (ayat) 51 macam-macam itu. Itu hak bapak ibu.”
Video rekaman pernyataan Ahok yang beredar luas di media sosial – dengan atau tanpa pemenggalan kata – dikecam luas.
Sebagian umat Islam menilai Ahok telah menistakan ayat suci Al Qur’an, tetapi sebagian lainnya menilai pemenggalan kata tertentu yang membuat makna ayat suci itu menjadi berbeda.
Surat Al Maidah ayat 51 yang menjadi perhatian dalam kasus ini menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).”
Pertentangan keras terjadi di forum-forum diskusi, media mainstream hingga media sosial.
Permohonan maaf Ahok yang disampaikan secara terbuka pada awal Oktober tampaknya tidak membuahkan hasil. Sejumlah pihak mengadukannya ke polisi, termasuk pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang kemudian buron ke Arab Saudi.
Demonstrasi besar-besaran menuntut penangkapan Ahok pun terjadi di beberapa tempat, termasuk di depan Istana Negara pada 4 November dan di lapangan Monumen Nasional pada 2 Desember. Peserta kedua demonstrasi ini bahkan kemudian membentuk semacam gerakan yang disebut “Gerakan 411 dan Gerakan 212.”
UU Penodaan Agama Juga Jerat Meliana
Pasal 156a KUHP UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak saja digunakan dalam kasus Ahok, tetapi juga sejumlah kasus lain.
Meliana, perempuan keturunan Tionghoa yang mengeluhkan volume pengeras suara azan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, adalah korban terbaru pasal karet itu. Meliana divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus dan diperkuat Pengadilan Tinggi Medan pada 25 Oktober karena dinilai bersalah melanggar pasal 156a KUHP yaitu dengan sengaja menunjukkan perasaan atau melakukan perbuatan di depan umum, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
“Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut,” ujar Meliana kepada tetangganya sebagaimana dibacakan dalam tuntutan jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri Medan.
Tidak lama setelah isu bahwa Meiliana mengeluhkan kerasnya suara azan pada Juli 2016 itu meluas, massa mengamuk dan membakar sedikitnya 14 kuil Budha di kota pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Sebelum Ahok dan Meliana, ada sejumlah kasus lain yang dijerat pasal karet UU Penodaan Agama dan masih lekat dalam ingatan publik. Antara lain vonis terhadap enam pengurus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Aceh tahun 2015 karena dinilai menyebarkan paham Millata Abraham yang dinyatakan sesat dan dilarang oleh ulama setempat, atau vonis terhadap Lia Eden tahun 2006 dan Arswendo Atmowiloto tahun 1990.
SETARA Institute: Tahun 1965-2017 Ada 97 Kasus Penistaan Agama
Menurut riset Setara Institute, sepanjang tahun 1965 – 2017 ada 97 kasus penistaan agama. Jika dibagi sebelum dan setelah masa reformasi, maka ada sembilan kasus penistaan agama pada sebelum reformasi, dan melonjak menjadi 88 kasus pasca reformasi, terutama setelah tahun 2003. Tujuh puluh enam kasus diselesaikan lewat persidangan, sisanya di luar persidangan atau non-yustisia. Dari 97 kasus itu, 62% melibatkan tekanan massa.
HRW Sesalkan Pemerintah Jokowi Tak Gunakan Modal Politik Untuk “Preteli” Warisan Kontroversial
Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri Amerika tentang Kebebasan Beragama Tahun 2018 menyorot tentang keberadaan pasal 156a KUHP ini, demikian pula Laporan Tahunan Human Rights Watch HRW yang baru dirilis 19 Januari lalu. Peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia Andreas Harsono kepada VOA mengatakan “menyesalkan sikap pemerintahan Joko Widodo yang tidak menggunakan modal politik sangat besar yang dimilikinya untuk mengatasi intoleransi,” termasuk mengatasi berbagai macam institusi yang menurutnya “memfasilitasi intoleransi seperti MUI, Bakorpakem, dan FKUP (Forum Kerukunan Umat Beragama) atau mempreteli undang-undang warisan yang kontroversial seperti UU Penodaan Agama.” Menurutnya perlu terus dilakukan pendidikan publik agar setiap orang menyadari keberadaan undang-undang kontroversial seperti UU Penodaan Agama ini.
Soal pentingnya pendidikan publik ini juga ditekankan oleh antropolog dan pendiri SEA Junction Dr. Rosalia Sciortino Sumaryono, yang bulan lalu melangsungkan diskusi dan pameran “Scapegoating The Other in South East Asia.” Menurutnya dalam banyak kasus, dimana minoritas jadi korban karena politisasi agama atau pendekatan etno-nasionalis, banyak warga dan kelompok masyarakat yang tidak setuju tetapi memilih tidak bersuara karena takut atau tidak siap menghadapi dampaknya. Kalau pun akhirnya bersuara di depan publik, hal itu tidak cukup kuat untuk menghentikan tindakan itu.
“Kita mungkin takut untuk menghadapi perang ide, tetapi ini sudah waktunya untuk bersuara dan mengklaim ruang-ruang publik kita. Ini kebutuhan urgent karena jika tidak perilaku seperti ini akan terus menyebar dan akhirnya kita yang terpojok. Banyak korban akan jatuh,” tegasnya. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia