GORONTALO – Kampus plat merah yang bernama Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kembali memiliki rektor definitif. Dialah Dr. Eduart Wolok yang menggeser posisi Prof. Mahludin Baruadi, yang semula dipublik “dielu-elukan” akan menjadi orang nomor satu, dan Prof. Ani M. Hasan. Artinya, kebahagiaan menyertai UNG tak bisa dipungkiri siapapun. Sisa-sisa gesekan merupakan keniscayaan dalam segala pertarungan di dunia ini. Tak ada kompetisi yang tidak menyertai hakikat kalah-menang. Namun, sebagai institusi yang memproduksi intelektual, maka kedewasaan dan “legowo” tetap harus dinomorsatukan. Kampus bukanlah institusi tingkat dasar, melainkan pabrik besar pasar raya ilmu pengetahuan. Singkatnya, yang kalah “legowo” dan yang menang harus bertanggung jawab atas amanah yang diberikan Allah melalui Sidang Senat dan ketetapan dari Kemenrerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sebagaimana yang tertera dalam berita acara hasil rekapitulasi pemungutan suara.
Penulis mengenal Eduart Wolok sejak 2009 melalui tulisan menariknya, yang berjudul “Analisis Kualitas Pelayanan Perpustakaan UNG Dengan Metode Importance Performance Analyse” di Jurnal Entropi. Sebagai penulis, saya berkepentingan untuk “menuntut” rektor terpilih untuk mengembangkan metode IPA tersebut. Sebuah metode yang sering digunakan oleh perusahan-perusahan untuk mengukur tingkat kepuasan konsumennya. Jika selama ini, suasana perpustakaan kerap dilatarbelakangi oleh background pengurusnya, maka apakah EW (singkatannya) mampu menjadikan Perpustakaan UNG menjadi laboratorium dan kiblat bongkar membongkar ilmu pengetahuan Gorontalo dan lintas sulawesi.
Kalaulah ia menjadi pasar raya intelektual dan kiblat ilmu maka tidak mustahil akan lahir banyak mahasiswa bahkan dosen yang betul-betul intelektual sejati. Intelektual yang konsisten dalam memajukan pendidikan (misalnya), misalnya budaya literasi (membaca-menulis). Sebuah budaya yang semakin hari, semakin hilang di dalam ruh pendidikan kampus.
Dengan mencermati UNG dari perspektif di atas, maka setidaknya lima poin genting yang harus dibicarakan secara serius oleh pengelola dan civitas akademika. Dimulai dari adanya gempuran persaingan PT yang semakin menuntut pengelola kampus harus update segalanya. Dalam bahasa akademisi-akademisi UNG, wajibnya menerapkan “good university covernance”; kehadiran pemain-pemain baru dari luar yang masuk ke segala penjuru Indonesia; integritas dan kapabilitas seorang dosen dan proyeksi kampus terhadap mahasiswa-mahasiwinya; interdisipliner kelimuan yang mungkin bisa jadi kedepan ada sebuah ruangan yang di dalamnya lintas disiplin dan “internasional class university”; dan yang tak kalah penting, UNG masih harus ekstra dalam menaikkan pamornya melalui riset dan penelitian, baik dari dosen maupun mahasiswanya.
Rektor EW (yang baru ditetapkan) memiliki jejak digital banyak jikalau kita ingin membicarakan dirinya dari perspektif “digital based learning”. Oleh sebab itulah, dari empat program utama UNG 2019-2023, dapat dipastikan akan menyongsong: pendidikan yang unggul, penelitian yang menembus skala internasional, pengabdian yang berbasis “sosial entrepreneur” dan rekonstruksi tubuh UNG agar lebih berdaya saing, dan pengelolaan atau penataan Sumber Daya Manusia (baik ke dalam maupun ke luar). Dari semuanya itu, dibutuhkan keseriusan. Mengapa? Tiga dari lima poin penting untuk pembangunan UNG yang unggul dan berdaya saing itu dibutuhkan arsitektur kampus yang mumpuni.
Arsitektur kampus yang baik dan sehat dibutuhkan oleh setiap kampus. Jejaring dan tata kelola yang tidak baik dalam sebuah badan institusi akan terkena imbasnya pula pada kesehatan pendidikan mahasiswa dan lingkungan. Sebagus apapun inovasi pendidikan namun mengabaikan tata kelola lingkungan yang berporos pada sistem berpikir yang sehat dan mengasup yang bersih, maka algoritma kampus akan miring. Ini sudah terbukti di beberapa kampus yang ada di Indonesia.
Pasar Raya Intelektual di Era 4.0
Funco Tanipu, seorang dosen UNG menulis sebuah artikel berjudul “Rektor UNG dan Tantangannya”, menarik untuk kita renungkan bersama. Di mana posisi UNG lebih rendah, bahkan jika kita bandingkan dengan Universitas Tadulako Palu. Ringkasnya, UNG dalam beberapa tahun terakhir tidak mengalami kenaikan siginifikan, melainkan penurunan yang dahsyat. Ukuran yang digunakan oleh Funco Tanipu sangat sederhana dan logis. Misalnya, UNG dibandingkan dengan kampus tetangganya, IAIN Sultan Amai dalam hal jurnal yang terindeks oleh SINTA. UNG belum sama sekali ada di dalamnya.
Disinilah apa yang penulis harapkan dari rektor terpilih bekerja ekstra keras. Khususnya di tiga poin dari beberapa poin genting untuk menjadikan UNG berdaya saing. Tanpa memajukan pendidikan beserta derivasinya, maka slogan itu hanyalah kumpulan kata-kata. Sebab, masalah utama di kampus manapun, seperti “penyepelean HAKI” dari sebuah karyanya. Padahal selama penulis mengurus urusan HAKI untuk dosen-dosen di beberapa kampus, terkategorikan hal sepele dan cukup mudah. Dilanjutkan dengan masih rendahnya minan “international conference” dan “call papers”. Lebih sederhana dari itu adalah pengabdian yang menghasilkan narasi lengkap. Itulah contoh sederhana yang masih dianggap “sepele” oleh dosen-dosen kita di Indonesia.
Maka, bisa saja, tidak saja mahasiswa yang diberikan peraturan dalam hal pendidikan, penelitian dan pengabdian di masyarakat, melainkan pula untuk memajukan dosen perlu dipikirkan juga. Dosen-dosen yang malas dalam penelitian, penulisan dan membuat karya perlu direstorasi. Mengapa? Ini sebuah keharusan untuk mendobrak kampus berdaya saing. Dari situlah nanti akan lahir penguatan kepakaran dan posisi daya tawar UNG di kancah internasional.
Semoga “unek-unek” sederhana dari anak muda Gorontalo ini menjadi pertimbangan untuk rektor terpilih. Di samping itu, peneropongan dari kejauhan ini bisa saja salah dan kemungkinan benar. Semoga bermanfaat. [*]