Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam Pembebasan Lahan GORR

Tindak Pidana Korupsi
Dahlan Pido (Praktisi Hukum). Foto: istimewa

JAKARTA – Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas menjadi pengakuan utama kita bersama, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap Hukum dan HAM, termasuk dalam proses penegakan hukum.

Sedangkan menurut Pasal 28 D UUD 1945, “bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal UUD 45 di atas bermakna bahwa hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat.

Bahwa terkait dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pembebasan lahan di Gorontalo sebesar Rp. 85 Milyar (80 %) dari anggaran total, apakah itu wajar ? karena Kejaksaan Tinggi menyatakan perhitungan itu sementara. Haruslah perhitungan itu sudah jelas dan nyata dilakukan oleh Lembaga Negara (Badan Pemeriksaan Keuangan atau BPK) bukan oleh Lembaga lain, karena dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK menyatakan bahwa “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”.

Read More

Hal yang sama seperti dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang.

Bahwa Kerugian Negara dalam perkara korupsi sebagaimana dinyatakan sebagai unsur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya unsur ini maka tidak ada korupsi. Dan sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 0003/PUUIV/2006, tanggal 25 Juli 2006 “unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung”. Pembuktian dan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya itu harus dilakukan “secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian”.

Jelas ketentuan di atas mengatur setiap penyidik Kejaksaan harus berhati-hati dalam menentukan bahwa perbuatan itu merupakan TIPIKOR atau MAL ADMINSTRASI, seperti yang menjadi kewenangan Kejaksaan berdasarkan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 8 ayat (3) menyatakan, “demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”. Sedangkan pada ayat (4) memerintahkan, “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya ,Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya”.

Terkait dengan Kejaksaan menetapkan Tersangka, jika tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti, maka sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan No. Perkara 21/PUU-XII/2014, hal itu dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, melalui permohonan Lembaga Praperadilan.

Dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pada Pasal 52 disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yang meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

b. dibuat sesuai prosedur; dan

c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Permohonan Praperadilan yang diajukan dapat diajukan menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur bahwa:
a. Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”

b. Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.

Berdasarkan uraian di atas, mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan kepada Tersangka, dengan menetapkan menjadi Tersangka adalah perbuatan dengan prosedur yang tidak benar, sehingga Majelis Hakim Praperadilan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusannya untuk membatalkan Pemohon menjadi Tersangka karena penetapan Pemohon menjadi Tersangka merupakan Keputusan yang TIDAK SAH DAN BATAL MENURUT HUKUM. (*)

Related posts