Kegiatan Politik Harus Tunduk Pada Aturan Hukum

Presiden
Dahlan Pido, SH., MH, Praktisi Hukum / Advokat. Foto: istimewa

Oleh: , SH., MH. (Praktisi Hukum/Advokat Senior)

Pojok6.id (Opini) – Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa, Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala kegiatan Negara dan Warga Negara, termasuk berpolitik harus berdasarkan prinsip hukum., tidak boleh suka-suka atas kehendak pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu Hukum harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan bernegara, bukan ataupun ekonomi.

Terkait hal di atas, ada desakan Ketua Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI kepada Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk mengganti Wakil Ketua MPR RI adalah fatal dan menyesatkan. Jelas dan tegas dalam Konstitusi UUD 1945 menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, artinya segala keputusan pejabat atau Lembaga negara jika dilakukan dengan melanggar hukum maka siapapun yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan dan meminta keadilan melalui proses hukum yang ada.

Read More

Sehingga Pemberhentian jabatan Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI yang dilakukan secara melawan hukum harus mendapat penyelesaian secara hukum di Pengadilan, karena DPD RI itu sendiri tidak berfungsi sebagai Lembaga Pengadilan untuk tempat mencari keadilan. Sebab Keputusan Legislasi DPR RI yang diambil dalam sidang paripurna DPR berupa Undang-undang saja dapat diuji di Peradilan jika bertentangan dengan UUD 1945, sehingga perkara a quo yang menyatakan bahwa keputusan paripurna DPD RI hanya bisa dirubah dengan keputusan paripurna DPD juga tidak berdasar karena harus di uji secara netral di Lembaga Pengadilan (PN. Jakpus).

Jika dinyatakan Pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili, itu sangat fatal. Jika demikian sampai kapanpun produk DPD RI yang dianggap melawan hukum tidak akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan apabila diserahkan saja kepada DPD RI, walaupun produknya cacat karena ulah Gerakan Politik dari Ketua DPD RI. Atas dasar itu Perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Wakil Ketua MPR RI atas pemberhentiannya ke Pengadilan masuk dalam rumpun kewenangan Absolut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan Absolut untuk mengadili perkara a quo. Anehnya ada ahli hukum (Rafly Harun) yang menyatakan dengan tidak melantik Tamsil untuk mengganti merupakan Perbuatan Melawan Hukum, sehingga bisa dilakukan gugatan. Rafly mungkin tidak tahu bahwa Fadel Muhammad sendiri sedang melakukan gugatan PMH, seperti yang ditentukan oleh Pasal 1365 KUHPerdata, ini kan pernyataan yang kacau dan sangat subyektif.

Bahwa gugatan Fadel itu merupakan Perbuatan Melawan Hukum karena ketua DPD RI telah menggelar sidang paripurna menyisipkan agenda “mosi tidak percaya” ini merupakan tindakan yang didasari pada mmotif pribadi/ political interest yang pragmatis, bukan didasari pada adanya kesalahan dan/atau pelanggaran yang dilakukan oleh Fadel sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD. Mosi tidak percaya tersebut tidak dikenal dalam UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPD, untuk proses pemberhentian dan penggantiannya, dan juga tidak melalui proses di Badan Kehormatan.

SK DPD-RI No. 2/DPD RI/1/2022-2023 Tentang Penggantian Pimpinan MPR-RI Usul DPD RI Tahun 2022-2023 yang menjadi masalah untuk mengganti Fadel adalah cacat hukum, karena Wakil Ketua DPD RI I dan III tanggal 5 September 2022 telah menyatakan menarik tanda tangan pada SK No. 2 tersebut, sehingga tidak memenuhi asas KOLEKTIF KOLEGIAL, dan SK tersebut dapat dinyatakan BATAL dengan sendirinya, serta tidak dapat digunakan untuk menarik dan mengganti Fadel dalam kedudukan selaku WaKil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI.

Demikian pula, agenda peberhentian Fadel juga ditentang oleh sejumlah anggota DPD RI yang lain, antara lain anggota DPD RI dapil Jawa Tengah dan dapil Sulawesi Tengah, sebab dalam forum sidang Paripurna II masa sidang I tahun sidang 2022- 2023 DPD RI, tanggal 18 Agustus 2022 disampaikan, pemberian tanda tangan adalah untuk peningkatan kinerja anggota DPD RI dan MPR RI, namun fakta yang terjadi, tanda tangan mosi tidak percaya digunakan untuk menarik dukungan yang berujung pada keputusan pemberhentian Fadel Muhammad sebagai wakil ketua MPR RI dari unsur DPD RI periode 2019-2024.

Bahwa gugatan Fadel Muhammad terhadap ketua DPD RI La Nyala Matalitti kapasitasnya sebagai warga negara yang dirugikan (privat), bukan gugatan antar Lembaga Negara (MPR RI dan DPD RI). Hal ini berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang telah penulis sebutkan di atas, dan karena Indonesia sebagai Negara Hukum telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa, Negara Indonesia adalah negara hukum dan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Sekian salam penulis.

Related posts