Gorontalo – Nabila May Sweetha, siswi SMA Negeri 11 Makassar, adalah salah seorang peserta Festival Pemuda untuk Keadilan Sosial dari perwakilan Sulawesi Selatan. Gadis remaja kelahiran Tonasa, 22 Mei 2003 ini menjadi salah salah satu peserta festival pemuda yang menarik perhatian.
Pada saat malam pembukaan yang dihadiri oleh Bupati Kabupaten Gorontalo, Nelson Pomalingo, Lala, panggilan akrabnya, bercerita tentang perjuangannya dalam menuntut keadilan kepada teman-teman difabel. Bahkan ia juga bercerita sering mendapatkan perlakukan tidak adil.
“Saya adalah difabel netra. Saya bersekolah dan tamat SMP di sekolah luar biasa. Sekolah itu memberikan saya banyak pengetahuan baru tentang dunia disabilitas. Dengan sekolah luar biasa itu, saya menjadi optimis menatap dunia meski saya tidak dapat melihat,” cerita Lala.
Namun saat Lala bercita-cita melanjutkan ke sekolah umum, tidak sedikit juga guru yang menganggapnya sebelah mata dan dianggap tidak bisa bersekolah di sekolah umum. Banyak yang memperkirakan Lala akan kembali ke sekolah luar biasa.
“Sakit sekali memang saat salah seorang guru ilmu pengetahuan alam menganggap saya tidak pantas bergabung dengan mereka yang non disabilitas,” ungkapnya.
Saat lulus sekolah di SMPLB (Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa), Lala mendapat nilai ujian nasional lebih tinggi dari teman-teman lainnya. Ia lalu mendaftar di sekolah umum di SMA Negeri 11 Makassar dan dinyatakan lulus. Lala berhasil menepis anggapan banyak orang, termasuk gurunya sendiri, bahwa orang seperti dirinya tidak bisa masuk ke sekolah umum.
Namun usai membuktikan kepada guru bahwa dirinya mampu masuk ke sekolah SMA Negeri 11 Makassar, justru ketidakadilan mulai ia dapatkan ketika menjadi siswa di salah satu sekolah favorit di Makassar tersebut.
“Di dalam kelas, saya tidak mempunyai teman. Saya dianggap tidak ada, walau dalam satu waktu saya juga punya seseorang untuk meminta bantuan. Namun saya merasakan sekali, jika teman-teman saya tidak pernah menganggap keberadaan saya. Dianggap saja saya ini boneka pajangan, yang kerjanya duduk di kelas tanpa mampu apa-apa,” cerita Lala.
Bukan hanya teman sekelas, katanya, bahkan sebagian guru pun menganggap Lala tidak ada. Tidak hanya dianggap tidak ada, salah satu guru matematika pernah terang-terangan mengusir Lala secara halus.
“Dia berpikir saya tidak akan pernah bisa berbaur dengan pelajaran yang diberikan pihak sekolah, menurutnya saya ini terlalu sombong jika ingin bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka yang sempurna,” ungkap Lala sedih.
Lala seperti merasa bahwa kehadirannya di sekolah itu seperti tidak pernah diinginkan, bahkan mungkin semua orang berpikiran bahwa ia tidak punya guna. Ia lalu bertanya ke sana ke mari, mengumpulkan segala berita yang bisa ia dapat. Pertanyaan yang sama sering kali dilontarkan kepada kakak-kakak difabel netra yang sekarang sudah berhasil. Dan jawaban yang sama juga sering kali ia temukan.
“Saya tidak mengerti, di mana jiwa mendidik para guru itu? Mengapa kami, yang dari dasarnya harus menguatkan mental untuk bersekolah di sekolah reguler harus lagi menerima perlakuan seperti itu?” ujar Lala.
Hingga pada satu kesempatan, Lala mendapatkan penghargaan untuk mengikuti kegiatan Social Justice Youth Camp (SJYC), yang diadakan oleh ISJN dan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK). Lala merasakan sekali perbedaan antara peserta SJYC yang semuanya merupakan siswa SMA sederajat dari beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, dengan teman-temannya di SMA Negeri 11 Makassar.
Peserta SJYC yang sebanyak dua puluh lima orang itu memperlakukan Lala dengan baik. Mereka diberi pemahaman, bahwa difabel tidak suka dikasihani dan juga tidak suka didiskriminasi. Dari tiga hari mempelajari tentang difabel, mereka jadi paham betul memperlakukan difabel. Mereka tidak pernah membedakan Lala ataupun melihat perbedaan.
“Saya sempat berpikir, akan indahnya sekolah jika murid di dalamnya seperti dan berjiwa sosial tinggi seperti para peserta SJYC. Dan sangat indah pula, jika guru-guru di sekolah saya berjiwa sosial seperti kakak-kakak anggota ISJN dan PerDIK sebagai pemateri dan fasilitator itu,” kata Lala.
Lala berharap ada orang yang membaca tulisannya dan hati mereka tergerak untuk bersosialisasi di sekolahnya. Memberikan arti-arti keadilan sosial pada guru dan murid di sana. Agar mereka yang difabel yang merasa tertindas di negeri sendiri ini tidak lagi harus membuang air mata untuk perlakuan seperti itu. Agar Indonesia, bisa lebih ramah dengan masyarakatnya yang difabel.
“Saya adalah satu dari banyaknya teman difabel netra, atau buta yang menjadi korban ketidakadilan. Saya adalah satu, hanya satu, dari orang-orang cacat, yang merasakan bahwa kami ini tidak pernah dianggap ada.”
“Saya hanya ingin keadilan, saya ingin kelebihan saya juga dihargai. Saya memang punya kekurangan. Saya buta, saya tidak dapat melihat seperti teman-teman lain, seperti guru yang menganggap saya rendah. Tapi saya juga punya otak untuk berpikir, punya hati yang merasa sakit saat dianggap tidak berguna,” pungkas Lala. [*]