YOGYAKARTA – Ada yang berbeda di sebagian keluarga Indonesia dalam sepuluh hari terakhir. Orang tua bekerja tanpa perlu ke kantor, dan anak-anak mengerjakan tugas sekolah di rumah. Istilah work from home, google class, aplikasi zoom, webex hingga YouTube live begitu populer di telinga kita. Tak jarang, terdengar teriakan anak tetangga meminta bantuan menjawab soal dan sahutan balik ayah mereka yang sedang menggoreng tempe di dapur.
Yulianingsih adalah satu dari jutaan ibu yang lebih sepekan ini harus bergulat lebih panjang dengan pelajaran sekolah anaknya. Ibu dua anak yang tinggal di Yogyakarta ini memilih santai menghadapi kondisi.
“Kadang anak saya yang kelas 6 SD nanya-nanya soal matematika. Kalau saya enggak bisa jawab, ya kakaknya membantu. Kalau enggak nemu jawabannya, saya suruh menjawab sesuai hati nurani saja,” kaya Yuli sambil tertawa.
Menurut Yuli, yang juga merepotkan adalah karena kini anak-anak makan tiga kali penuh di rumah dan menu harus berganti. Bukan tugas enteng untuk menyediakan variasinya, agar nafsu makan terjaga. Anak-anak juga butuh kegiatan lebih, karena itu Yuli membelikan mereka bahan masakan sederhana, seperti donat, siomay atau tahu isi. Dua anak perempuannya, kata Yuli setelah sekian hari di rumah, kadang muncul bibit-bibit perselisihan kecil, dan itu harus diatasi.
Rumah Bukan Sekolah
Sebenarnya, suasana semacam itu sudah dialami sejak lama oleh sebagian orang tua di Indonesia yang menerapkan homeschooling. Karena itu, pengalaman Ellen Nugroho layak dijadikan rujukan, agar orang tua di Indonesia tidak stres selama anak belajar di rumah karena wabah virus corona. Ellen Nugroho adalah Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI).
Prinsip pertama, kata Ellen, orang tua harus paham bahwa belajar di rumah tidak bisa disamakan persis pendekatan, metode, dan jadwalnya seperti di sekolah. Situasi psikologis yang berbeda antara rumah dan sekolah menjadi alasan.
“Di sekolah, anak-anak berhadapan dengan guru yang sebetulnya secara psikologis tidak sedekat dengan orang tuanya sendiri. Guru itu kan akan selalu menampilkan personanya yang terbaik, kepada anak-anak karena itu adalah tuntutan profesi. Orang tua, tentu tidak bisa membuat jarak emosional seperti guru di sekolah,” kata Ellen.
Karena itu, pekan pertama belajar di rumah seharusnya tidak dibebani dengan tugas sekolah, tetapi lebih digunakan untuk membangun ikatan batin orang tua dan anak. Guru dan orang tua harus berdiskusi mengenai hal-hal semacam ini.
Di kalangan homeschooler, kata Ellen ada istilah deschooling, yaitu fase ketika anak tidak lagi pergi sekolah. Hari-hari pertama ini lebih baik diisi dengan saling ngobrol, melakukan kegiatan bersama, dan menata relasi personal satu dengan yang lain. Fase ini sebaiknya tidak diisi dengan kegiatan akademis, tetapi digunakan untuk memasak bersama, menonton tv, menyapu, atau membersihkan rumah bersama-sama.
“Di sekolah, semua jadwal disusun guru. Ketika di rumah, kalau orang tua menjadi seperti guru, yang mengatur jadwal anak dari bangun tidur sampai tidur lagi, orang tuanya bisa kewalahan. Justru orang tua harus membangun kebiasaan anak melakukan sesuatu atas inisiatifnya sendiri,” tambah Ellen.
Jika anak menerima tugas dari gurunya, orang tua harus mempertimbangkan bagaimana target itu bisa dicapai. Bahkan, jika menurut orang tua target tugas itu sulit dicapai, tidak ada salahnya orang tua melakukan negosiasi dengan guru. Menurut Ellen, anak harus ikut memutuskan berapa lama dia akan mengerjakan tugas. Biasanya, mereka lebih mudah berkonsentrasi dalam durasi pendek, tetapi sering, dengan selingan kegiatan lain.
Orang tua dan anak, lanjut Ellen, harus sama-sama menghemat energi, terutama emosionalnya. Sikap anak ke guru ketika menjalankan tugas sekolah, tidak akan sama dengan sikap anak ke orang tua. Karena anak cenderung lebih segan kepada gurunya. Sedang kepada orang tua, mereka lebih terbuka menyatakan sikap, apakah tidak mau atau tidak bisa ketika mengerjakan sesuatu.
Kesempatan Memperbaiki Hubungan
Pakar Promosi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Fatwa Sari Tetra Dewi meminta orang tua melihat masa isolasi mandiri ini secara adil.
“Saya kira kita semua berada pada taraf yang sama. Sama stressnya, antara guru dan orang tua. Gurunya juga stres karena berpikir bagaimana anak-anak mengejar ilmu yang seharusnya mereka dapatkan. Sedangkan orang tua juga stres, berpikir bagaimana caranya harus membuat anak-anak mampu mengikuti, sementara dia sendiri, misalnya, harus bekerja di rumah,” kata Fatwa.
Karena itu, Fatwa menyarankan orang tua belajar manajemen agar tetap bisa bekerja di rumah sekaligus menjamin anak-anak mau belajar. Untuk mengurangi stres, harus diidentifikasi dahulu apa saja yang bisa mempengaruhi datangnya tekanan itu. Fatwa mencontohkan, anak-anak yang tiba-tiba berubah manja sebenarnya hanya bosan dan mencari perhatian. Mereka harus dicarikan permainan mandiri yang aman, sehingga bisa menyibukkan diri ketika orang tua mengerjakan tugas lain.
Periode ini, kata Fatwa, memang bisa menjadi sumber stres, tetapi sekaligus menjadi kesempatan baik untuk kembali saling lebih mengenal antar anggota keluarga.
Orang tua harus terus belajar. Pekan-pekan ini, dengan kemungkinan masa belajar di rumah lebih panjang, adalah masa kembali beradaptasi. Jalan keluar masing-masing keluarga akan berbeda, dan itu harus dicari dengan diskusi antara orang tua dan anak agar tidak sama-sama stres. Fatwa melihat sejumlah orang tua yang kemudian membuat vlog memasak bersama anak-anak mereka, sebagai contoh yang baik dalam melewatkan waktu isolasi di dalam rumah.
“Sebetulnya ada banyak kursus-kursus online yang murah bahkan tidak berbayar. Semua itu bisa kita identifikasi, kita cari, kita pelajari, bagaiman caranya memecahkan masalah bersama. Sumber-sumber belajar yang sifatnya daring dan gratisan juga bisa kita share antar teman, agar semua bisa beradaptasi dengan baik di saat-saat seperti ini,” lanjut Fatwa. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia