Prabowo, Ditinggalkan Atau Meninggalkan?

Rian Wahyudi Putra Nteseo, salah satu pelopor Gerakan Milenial Indonesia, Organisasi Pemuda yang aktif bergerak dibidang Pembangunan Sumber Daya Manusia khususnya Anak Muda. Foto: istimewa

JAKARTA – Polemik soal bergabungnya 08 (sebutan ) ke kabinet Jokowi-Amin berhasil membuat publik terperanjat. Bagaimana publik tidak kaget, dua lawan politik ini bertarung dengan sangat keras dari pilpres 2014 hingga pilpres 2019 beberapa saat yang lalu. Mulai dari dikotomi cebong dan kampret hingga menguaknya isu-isu agama yang begitu kencang mewarnai perseteruan dua tokoh sentral pilpres ini.

Hampir setiap waktu masyarakat disuguhi debat-debat panas antar elit politik pendukung masing-masing. Mulai dari media cetak, media online, hingga stasiun tv semuanya menampilkan narasi narasi panas. Hingga akhirnya masyarakat umum mengadopsi cara-cara berdebat tersebut, dan di aplikasikan ke teman atau orang-orang yang berseberangan pandangan politik dengannya. Tingkatan gerakan akar rumput (grass root) ini ikut tersulut mewarnai sudut perbincangan politik warung kopi dengan panas. Bahkan yang lebih parahnya lagi, ada anggota keluarga yang berhenti bertegur sapa hanya gara-gara perbedaan pilihan politik.

Masyarakat kita seketika melupakan etika dan norma adat istiadat khas masyarakat Indonesia, dan menjadi beringas ketika debat politik dimulai. Saling menyalahkan, saling sindir, hingga saling mencemooh menjadi hal yang sepertinya lumrah. Masyarakat kita lupa bahwa elit kita sedang memainkan peran politik masing-masing. Mereka dibekali ilmu politik yang mumpuni, hingga mampu terlihat hebat saat diatas ring debat. Pun dengan permainan isu yang diangkat, tak perlu ditanya lagi kepiawaian bapak-bapak dan ibu-ibu kita itu. Lakon dimainkan untuk tujuan tertentu. Perlu pemahaman yang dalam nan tinggi agar bisa mengerti maksud dan tujuan mereka.

Read More
banner 300x250

Saya teringat tulisan salah satu filsuf Yunani, Plato, yang mengatakan filsafat politik tentang keberadaan manusia terbagi atas tiga bagian. Pikiran atau akal, semangat/keberanian, dan nafsu/keinginan untuk berkuasa. Dari tiga hal diatas kita bisa menakar maksud dan tujuan merapatnya seorang Prabowo untuk bersedia bergabung membantu kabinet Jokowi jilid II.

Perspektif pikiran atau akal seorang Prabowo bukan main-main. Mantan Jenderal pemimpin satuan elit TNI AD ini punya segudang prestasi. Banyak catatan yang masih bisa kita temui tentang prestasi 08. Beragam operasi demi operasi telah dilalui dengan sukses. Benar, beliau adalah Jenderal lapangan. Prabowo bukan sekedar Jenderal dibalik meja yang menjaga sepatunya agar tetap bersih. Bertaruh nyawa adalah hal yang dilalui setiap hari. Berkat keberhasilan tersebut, bisa dikatakan strategi yang dipakai seorang 08 pasti bukan strategi yang biasa saja.

Semagat dan keberanian 08 pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika sudah berpidato tentang NKRI, Prabowo menjadi berapi-api. Gaya khas memukul mukul mimbar podium atau meja selalu diperlihatkan. Ekspresi marah sang Jenderal satu ini tidak bisa disembunyikan. 08 akan sangat marah jika kedaulatan negaranya yang diganggu. “Tidak boleh ada 1 jengkal tanah NKRI yang dijajah oleh bangsa lain”, “bangsa kita bukan bangsa miskin, bukan bangsa kacung”, adalah kalimat yang sudah tidak asing bagi kader-kader 08.

Bagaimana dalam hal nafsu atau keinginan untuk berkuasa sang jenderal?. Hal ini tentu tidak ada yang tahu selain 08 sendiri. Namun kita bisa melihat dan melihat latar belakang sejarah seorang 08. Dari berbagai tulisan di internet, hanya ada satu kasus yang hingga saat ini selalu dialamatkan kepadanya. Tuduhan Kasus pelanggaran HAM 98 selalu menjadi batu sandungan.

Meskipun sudah banyak bantahan dari berbagai pihak maupun penjelasan tersendiri dari 08, isu ini sering diangkat tatkala kontestasi pilpres datang. Sepertinya ada pihak-pihak yang memelihara isu ini untuk sengaja menjegal Prabowo. Namun diluar dari hal ini, kita bisa menyimpulkan bahwa nasionalisme 08 sudah tidak perlu diragukan lagi. Niatannya untuk mendapatkan kekuasaan sepertinya memang semata mata untuk melindungi segenap bangsa dan negaranya. “Agar bangsa kita kuat, punya dignity supaya disegani bangsa lain”, ujar salah satu kader 08. Pendukung setianya berhasil diyakinkan. Mantan Jenderal lapangan itu pun berhasil didukung oleh “hampir” seluruh masyarakat Indonesia pada dua kali perhelatan pilpres.

Isu swasembada pangan, ekonomi kerakyatan hingga kebocoran kekayaan negara, dan perbaikan pertahanan adalah isu yang sering sekali dibicarakan 08 diberbagai kesempatan. Rakyat menemukan harapan baru. Sosok ideal yang begitu nasionalis, yang ketika berpidato selalu berapi api ditengah krisis kepercayaan kepemimpinan di negara ini. Mereka teringat sosok Bung Karno pada masanya. Keras, tegas, lugas, tidak ingin diatur.

Hingga sesaat lalu 08 berlabuh dikabinet Jokowi jilid II. Langkah kaki menuju istana ala catwalk penuh percaya diri, sembari “dadah-dadah” khas politisi masa kini menghiasi layar tv. “Prabowo Menjadi Pembantu Lawan Politiknya“, adalah kalimat yang kurang lebih akan sering kita jumpai hingga beberapa hari kedepan.

Hal inilah juga yang tentu saja paling mengoyak hati para pendukung setianya. Mereka kecewa, sosok yang dianggap sebagai pembaharu dalam pemahaman politik awam malah bergabung dengan seteru politiknya. Dengan dalih “bersedia membantu jika dibutuhkan” seperti menjadi pembenaran atas sikap politik yang diambil. Pergumulan panas tingkatan bawah pun dilupakan. Dengan gampangnya mengajak masyarakat yang tadinya berkonflik dengan hebat untuk bersatu kembali. Mereka lupa bahwa konflik yang disebabkan oleh kepentingan mereka telah meninggalkan luka yang menganga. Pun setelah kejadian merapatnya 08 menghasilkan dua kelompok didalam pendukungnya sendiri.

Kelompok yang setuju adalah kelompok yang masih percaya dengan taktik perbaikan sang Jenderal. Bisa jadi mereka masih berupaya untuk percaya karena mereka kehabisan pilihan figur lainnya sebagai penantang sang petahana. Atau mungkin mereka adalah kader partai, yang dalam sistem organisasi mereka diwajibkan untuk “membenarkan” apa yang dilakukan oleh pucuk pimpinannya. Tidak boleh ada tawar menawar. Kelompok kedua adalah kelompok yang tidak setuju. Kelompok ini adalah kelompok yang paling terlihat sampai dengan sekarang.

Harapan mereka yang digantungkan kepada 08 terlalu besar, sehingga menjadi “pembantu” Jokowi di pemerintahan dianggap hal yang paling tidak bisa diterima oleh akal sehat mereka. Prabowo harus terus melawan, oposisi harus menjadi hal yang wajib. “Bagaimana lagi kami akan percaya kepada dia (Prabowo red), wong dia aja pada akhinya nyebong juga”, ujar salah satu tetangga saya didaerah Jakarta Barat.

Ya, pertarungan politik pada akhirnya adalah persoalan pertarungan kepentingan. Jika kepentingan yang diinginkan bisa bersanding, maka para elit pun harusnya bisa duduk bersama. Tidak peduli telah melalui pertempuran hebat dan keras. Kontestasi selesai, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bersatu. Mereka lupa telah menyisakan luka yang dibuat oleh tangan kotor mereka dilapisan masyarakat bawah.

Entah sadar ataupun tidak, mereka telah memberikan contoh yang buruk bagi masyarakat. Proses pembelajaran politik yang seharusnya menyajikan etika-etika maupun norma politik telah dilanggar. Hal ini membuat masyarakat menjadi skeptis dan apatis terhadap politik dimasa yang akan datang. Krisis keprcayaan terhadap pemimpinnya merebak. “Untuk apa ada kontestasi jika pada ujungnya mereka bisa bersanding”, kata Marwan, si tukang ojek sambil menyeruput kopi mamang-mamang dipinggir jalan.

Politik memang sulit untuk ditebak. Perlu ilmu khusus nan tinggi untuk dapat mengerti maksud dan tujuan dari para elit. Dalam prakteknya, dari jaman dahulu pertarungan politik selalu menyisakan korban. Berdasarkan runutan kejadian demi kejadian politik ini, tersisa beberapa pertanyaan yang menggelitik untuk kita teliti lebih lanjut.

Mungkinkah Sang Jenderal sedang menjalankan taktik “asymetric war”?. Ataukah mungkin Sang Jenderal sudah pasrah terhadap posisi politik yang diberikan kepadanya dengan tujuan untuk kemaslahatan orang-orang terdekat maupun partainya yang menjadi partai penguasa terbesar kedua di republik ini?. Bisakah diplomasi ala “nice guy” dijalankan oleh 08 dan orang-orang terdekatnya?. Mungkinkah sang jenderal ditinggalkan pendukungnya sebagai konsekuensi pilihan politik “nasi goring”?. Atau mungkin jenderal perang itu pergi meninggalkan pendukungnya demi sebuah posisi?. Menarik untuk kita tunggu !!. (**)

Tentang Penulis:

Rian Wahyudi Putra Nteseo, putra berdarah asli Gorontalo yang saat ini menjadi Tenaga Ahli DPD RI. Penulis juga tercatat sebagai salah satu pelopor Gerakan Milenial Indonesia, Organisasi Pemuda yang aktif bergerak dibidang Pembangunan Sumber Daya Manusia khususnya Anak Muda. Sejak 2007, Penulis sudah berkecimpung di dunia broadcasting sebagai salah satu penyiar radio top40.

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60