Pentingnya Literasi Kebencanaan di Gorontalo untuk Meminimalisir Resiko Bencana

Diskusi tentang Literasi Kebencanaan untuk Menangkal Disinformasi, dengan tema membahas “Literasi Bencana di Gorontalo dan Mitigasinya Melalui Media Massa” yang digelar secara daring 1 April 2021.

GORONTALO – Aliansi Jurnalis Independen () Gorontalo bersama Google News initiative menggelar Webinar Series Kebencanaan untuk Menangkal Disinformasi, dengan tema membahas “Literasi di Gorontalo dan Mitigasinya Melalui Media Massa”.

Kegiatan yang digelar pada Kamis 1 April 2020 tersebut dimoderatori oleh Christopel Paino, jurnalis Mongabay Indonesia, dan menghadirkan tiga pembicara, yakni Ot Oral Sem Wilar, Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Djalaluddin Gorontalo, Raghel Yunginger, Dosen MIPA UNG, dan Debby Mano, Koordinator SIEJ Gorontalo.

“Tercatat lima kali gempa yang merusak, pernah terjadi di Gorontalo. Yakni, pada 18 april 1990 berkekuatan 7,3, 20 juni 1991 berkekuatan 7,2, 25 November 1997 berkekuatan 7,0, 16 November 2008 berkekuatan 7,7 dan 15 Juli 2017 berkekuatan 6,0,” ungkap Oral selaku pembicara pertama pada kegiatan tersebut.

Read More
banner 300x250

Selain itu, kata ia, Gorontalo memang sering mengalami gempa namun hanya gempa kecil. Meski begitu, menurutnya masyarakat harus mengetahui bagaimana mempersiapkan diri dalam menghadapi, sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, ataupun sesudah terjadi bencana. Apalagi jika yang terjadi itu bencana gempa bumi.

“Jika terjadi gempa bumi, saat kita dalam ruangan, segera berlindung di bawah meja, di sudut ruangan yang kuat dan di bawah kusen, untuk melindungi kepala dan badan. Jika sedang berada di tempat terbuka, hindari bangunan seperti gedung, tiang listrik dan pohon,” kata Oral.

Ia juga mengingatkan, jika sedang berada dalam mobil saat terjadi gempa bumi, segera keluar dan menjauh dari mobil, hindari jika terjadi rekahan tanah atau kebakaran.

“Jika berada di pegunungan, hindari daerah yang mungkin terjadi longsoran dan terakhir, menjauhi pantai, menuju ketempat yang lebih tinggi untuk menghindari terjadinya tsunami, jika sedang berada di kawasan pantai,” Jelas Oral.

Sementara itu, Raghel Yunginger mengatakan bahwa, di Gorontalo sendiri, daerah yang intens terjadi bencana adalah Kabupaten Bone Bolango. Kata ia, sekitar tujuh kali bencana banjir itu terjadi. Dari data yang ia paparkan, menunjukan bencana yang terparah, terjadi pada 11 Juni 2020.

“Kejadian kebencanaan di Provinsi Gorontalo tahun 2020, yang tertinggi adalah Kabupaten Bone Bolango dan yang paling banyak itu adalah banjir, sekitar tujuh kali bencana banjir terjadi di Bone Bolango. Dan yang terparah adalah pada 11 Juni 2020, yang mengakibatkan, tiga orang terluka, 142 rumah rusak dan lima fasilitas umum yang rusak,” kata Raghel.

Atas fakta-fakta kebencanaan tersebut, Debby Mano sebagai anggota jurnalis lingkungan di Indonesia menyampaikan, bahwa peran media sangat penting, untuk mengedukasi masyarakat terhadap mitigasi bencana. Menurutnya, dalam hal mitigasi, ada baiknya media lebih banyak menyajikan informasi terkait pra bencana.

“Seharusnya informasi-informasi pra bencana yang paling banyak disajikan ke masyarakat untuk dikonsumsi. Memang saat bencana dan pasca bencana juga penting, tapi kalau kita mau memperkuat mitigasi, maka pra bencana yang harus kita perbanyak,” ungkap Debby.

Menurutnya, jurnalis sebelum terjadi banjir, sudah banyak menulis, banyak memberitakan, dan membahasnya dengan para ahli, sehingga tentu memiliki pengetahuan terkait bencana tersebut.

“Maka pengetahuan kebencanaan itu yang seharusnya disampaikan jurnalis kepada masyarakat, agar memiliki literasi terkait bencana,” ungkap Debby. (Rls)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60