Pojok6.id (Jakarta) – Dua tahun pandemi COVID-19 berjalan, keluhan terkait adanya dugaan mafia karantina masih diungkapkan baik oleh WNI maupun WNA. Presiden Jokowi pun meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengusut tuntas dugaan tersebut.
“Disiplin dalam melakukan pengetatan di pintu-pintu masuk dan pelaksanaan proses karantina yang benar dari luar negeri. Saya masih mendengar dan ini saya minta Kapolri untuk mengusut tuntas permainan yang ada di karantina. Sudah, karena saya sudah mendengar dari beberapa orang asing yang complain ke saya mengenai ini,” ungkap Jokowi.
Instruksi Jokowi ini pun bukanlah tanpa alasan. Dugaan mafia karantina mencoreng nama Indonesia di mata dunia internasional.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno lewat akun instagramnya memposting tulisan yang berisi keluhan d turis asal Ukraina yang menjalani karantina di Jakarta. Warga negara Ukraina ini merasa ditipu karena satu hari sebelum keluar dari karantina, hasil tes PCR dinyatakan positif.
Turis tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan tes PCR dari luar sebagai pembanding. Turis itu mengatakan, “Itu tidak adil dan benar-benar keterlaluan. Kami tidak memiliki gejala apa pun dan isolasi tambahan sangat mahal, jadi pasti saya merasa bahwa kami ditipu.”
Sandi pun kemudian merespon permasalahan tersebut dengan mengirimkan tim dari Kemenparekraf untuk menanganinya. Sandi pun menyesalkan kejadian tersebut dan akan menindak tegas kepada oknum-oknum yang bermain. Ia pun menggarisbawahi bahwa kejadian tersebut bukanlah sekedar miskomunikasi.
“Ini saya berkali-kali mendapatkan langsung berita dan juga dikonfimasi oleh banyak sekali yang menyatakan hal yang sama, jadi apa yang dialami kita jangan sederhanakan sebagai miskomunikasi tapi memang terjadi di dalam penanganan pandemi terutama mengenai PPLN (pelaku perjalanan luar negeri, red). Ke depan harus diperbaiki alurnya lebih baik,” ujar Sandi.
Keluhan WNA dan PMI
Kasus serupa dialami Matthew Joseph Martin, seorang Warga Negara Amerika Serikat. Mathew bersama anaknya yang berusia empat tahun tiba di Indonesia pada 30 Desember 2021. Keduanya melakukan tes PCR di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng dan dinyatakan negatif. Kemudian ia dan anaknya tinggal di hotel karantina dengan merogoh kocek sebesar Rp16,5 juta untuk 10 hari karantina.
Namun di hari ke-8 setelah melakukan tes PCR, keduanya dinyatakan positif sehingga diharuskan pindah ke hotel isolasi. Matthew pun mengatakan bahwa ia diberi dua pilihan yakni pindah ke hotel isolasi atau ke rumah sakit. Ia pun memilih untuk tinggal di hotel isolasi dengan membayar Rp11 juta per orang untuk 10 hari isolasi.
Matthew mengaku tidak memiliki pilihan lain, karena petugas yang bersamanya mengancam akan melakukan deportasi apabila tidak mengikuti peraturan yang ada.
Ketika sampai di hotel isolasi, Matthew terkejut dengan kondisi hotel yang sangat memprihatinkan. Menurutnya, kondisinya tidak sesuai dengan harga yang harus dibayar oleh dirinya.
“Naik ke kamar, wow langsung saya kaget. Di dalam kamar karpet jelek, 100 persen hitam dari kotoran, banyak debu, kamar mandi sangat jelek, tempat tidur jelek, jendela tidak bisa dibuka. Saya langsung marah,” ungkapnya kepada VOA.
Ketika keluhan tersebut diunggah di media sosial dan menjadi viral, pihak hotel memperbaiki kondisi kamarnya. Ia sangat yakin bahwa dirinya telah ditipu dan menjadi korban dari praktek mafia karantina.
“Ketika sampai hotel katanya tidak diperbolehkan upload nama hotel ini ke social media. Kenapa? Apa alasannya? Kenapa rahasia? Ya jelas itu, karena itu scam, itu keuntungan, tanpa ada opsi lain dipaksa oleh pemerintah. Katanya itu tanggung jawab satgas COVID, bagaimana satgas sudah tanda tangan hotel ini untuk siap bagi tamu-tamu yang harus diisolasi? ,” tuturnya.
“Pasti ada koordinasi antara satgas COVID dengan pemilik hotel. Kalau satgas COVID-19 bertanggung jawab, pasti tidak akan terima hotel seperti ini. Pasti ada koordinasi, kenapa satgas terima hotel bobrok dengan harga segitu?,” tambahnya.
Mafia karantina juga mengincar WNI, termasuk para pekerja migran indonesia (PMI). Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan ia menerima laporan bahwa ada sejumlah pekerja migran ditawari tidak menjalani karantina dengan membayar sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
“Lalu ada yang dikarantina, tetapi paspornya yang ditahan, dengan membayar sejumlah uang orangnya dipulangkan ke daerah asal, jadi itu juga membayar sejumlah uang. Kasus lain , teman-teman menjalani karantina tetapi begitu selesai karantina, teman-teman PMI pasti akan pulang ke daerah jadi disediakan transportasi kemudian harganya gila-gilaan, empat kali lipat dari harga normal,” ungkap Anis kepada VOA.
Menurutnya, para PMI tersebut tidak mempunyai pilihan selain menerima tawaran dari para oknum tersebut.
“Ya gimana ya sistemnya membuka ruang untuk terjadi begitu. Jadi saya kira kalau dugaan mafia itu ya ada. Jadi dibuka kesempatannya orang untuk kemudian tidak melakukan karantina. Seperti kasus Rachel Venya mustinya jadi cerminan publik bahwa sebenarnya wajah satgas kita, sangat tidak professional, koruptif,” tuturnya.
Lemahnya Pengawasan di Bandara
Kepala Divisi Humas Polri Irhen Pol Dedy Prasteyo mengungkapkan pelanggaran karantina yang dilakukan oleh para oknum ini diakibatkan lemahnya pengawasan di bandara.
“Kelemahan pengawasan di bandaranya. Dari mulai pintu kedatangan, ada oknum yang menyalahgunakan kewenangannya. Jadi yang bersangkutan menjemput, menawarkan jasanya, dan ini membuat keresahan. Dari hasil koordinasi dengan pihak imigrasi tentunya sudah tidak ada lagi jalur tersebut, harus clear dari orang-orang yang mencoba memanfaatkan,” ungkap Dedy.
Dedi mengatakan, untuk mencegah hal serupa terjadi lagi pihaknya telah memasang aplikasi Monitoring Karantina Presisi di pintu keluar imigrasi sampai dengan pengantaran ke tempat hotel karantina. Pengawasan pun tetap dilakukan, termasuk pada masa karantina.
Polri, ujar Dedy, berkomitmen untuk menindak tegas para oknum-oknum mafia karantina tersebut karena telah mencoreng kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia.
PHRI Janji Tindak Tegas Hotel yang Jadi Mafia Karantina
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyayangkan kejadian yang menimpa baik WNI maupun WNA terkait karantina. Menurutnya, berbagai kasus tersebut merusak citra hotel-hotel di Indonesia.
Ia menjelaskan, peraturan kekarantinaan yang ada saat ini ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Satgas Penanganan COVID-19, termasuk suplai makanan dan tes PCR. . Namun, katanya, peraturan tersebut seringkali dikeluhkan oleh PPLN, dan pihak hotel seringkali dituding meraup keuntungan yang banyak.
Ia berharap, pemerintah dan Satgas Penanganan COVID-19 harus menjelaskan peraturan tersebut secara gamblang kepada PPLN agar tidak terjadi salah pengertian.
“Yang paling berat di sini adalah kami dari PHRI, karena apa-apa yang disalahkan hotel melulu. Misalnya ada orang complain harganya mahal, ya karena karantinanya 10 hari, jadi biayanya kan bengkak. Padahal kalau dari sisi harga sebenarnya sama saja. Soal makanan saya juga terima complain, kenapa makanan harus dari hotel, tidak boleh dari luar? Ya karena persyaratannya begitu. Jadi akhirnya yang kena getahnya hotel mulu, karena dianggapnya hotel punya tendesi yang kurang baik, kita dituduh mafia karantina, segala macam,” ungkap Hariyadi.
Ia menjelaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas anggotanya yang melakukan pelanggaran dalam aturan karantina tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai kasus yang telah ditangani oleh pihak kepolisian dan telah dijatuhi vonis hukuman.
“Kami juga pernah diperiksa oleh Bareskrim Polri karena ada salah satu anggota kami yang nakal pas (gelombang) delta, berkolaborasi dengan oknum di airport, mengeluarkan tamu itu dari hotel sehingga seolah-olah nginep di hotel tapi sebenarnya tidak ada di hotel. Itupun kami tindak tegas, dan sekarang yang bersangkutan sudah divonis,” pungkasnya. [VoA]