JAKARTA – Negara Hukum mensyaratkan tiga prinsip dasar yang harus bekerja efektif, yakni supremacy of law, equality before the law, dan due process of law. Indonesia sebagai Negara Hukum dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yakni Kedaulatan Rakyat dilaksanakan menurut UUD, bukan oleh lembaga MPR.
Bahwa Bupati atau Walikota yang masih menjabat punya potensi untuk terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), namun masa jabatan itu tetap dibatasi, seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden. Terkait dengan itu, untuk masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota hanya punya hak menjabat 2 (dua) periode dengan kata lain, seseorang yang telah menjabat selama dua periode tidak boleh mencalonkan diri untuk ketiga kalinya.
Pembatasan itu jelas tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 58 huruf o, UU ini menegaskan calon kepala daerah harus memenuhi syarat, antara lain belum pernah menjabat sebagai kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Dalam Pasal 7 (2) jelas disebutkan, seperti pada huruf n menyatakan, belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota, dan pada huruf o mengatur, belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama.
Pasal 7 ayat (2) huruf n dan o diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-VII/2009, yang dalam pertimbangannya Hakim MK pernah memutuskan bahwa:
⁃ Sebagai kepala daerah tidak berturut-turut dan di daerah yang berbeda, yaitu pada tahun 1993-1998 menjabat Bupati yang berbeda dengan tahun 2003-2008, meskipun demikian jabatan ini terkena pembatasaan dua kali dalam jabatan yang sama di tempat berbeda;
⁃ Terdapat juga kasus dalam Perkara No. 8/PUU-VI/2008, yaitu menjabat Bupati periode kedua 2003-2008, berarti dia mengalami masa berlakunya UU 22/1999 dan UU 32/2004, hal ini dihitung satu kali masa jabatan. Sekalipun didasarkan pada dua UU yang berbeda (UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004) tetapi hitungan satu kali periode jabatan tidak terhalang karena perubahan UU;
⁃ Yang menjadi persoalan bagaimana masa jabatan periode I tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan;
⁃ Menurut Mahkamah, perbedaan sistem pemilihan Kepala Daerah baik tidak langsung [vide Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 22/1999] maupun langsung (Pasal 15 PP 6/2005) tidaklah berarti bahwa sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung itu tidak atau kurang demokratis dibandingkan dengan sistem langsung, begitu pula sebaliknya. Keduanya merupakan kebijakan Negara tentang sistem pemilihan Kepala Daerah yang sama demokratisnya sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Bahkan untuk menjamin tegaknya Supremasi Hukum, dalam Pasal 7 UUD 1945 disebutkan, untuk Presidan maupun Wakil Presiden, baik berturut-turut maupun tidak, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk sekali masa jabatan, artinya hanya dua kali berturut-turut ataupun tidak berturut turut.
Dari uraian di atas, dapat kami simpulkan tanpa menguji ke Mahkamah Konstitusi pun tentang Frasa Masa Jabatan sudah terang dan jelas, karena UUD 1945, UU Pemda, UU Pilkada dan Putusan MK telah menyatakan masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak.
Sekian, salam Penulis.