Konsumsi Beras, Pemburu Rente dan Devisa

Konsumsi Beras
Ilustrasi Beras. Foto: jybmedia

Pojok6.id ()Beras memiliki berbagai macam rupa, mulai dari pemberi tenaga kepada manusia sampai wajah yang mengerikan. Sebagai sumber karbohidrat, beras dijadikan bahan makanan pokok di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.

Saking sudah mendarah dagingnya, sampai ada ungkapan, bahwa belum dianggap makan kalau belum makan nasi, padahal sudah makan roti atau bahkan lontong sekalipun. Bahkan ada beberapa daerah yang tadinya makanan pokoknya adalah bukan beras beralih menjadi pengkonsumsi beras.

Beras juga merupakan komoditi politik, karena biasanya satu atau tiga tahun sebelum PEMILU, biasanya terjadi lonjakan impor terkadang tanpa mememperhatikan produksi, stok, maupun jumlah kebutuhan. Kejadian ini akan terus terjadi selama pemburu rente berkoalisi dengan para politikus dan penguasa. Beras juga memiliki wajah mengerikan, konsumsi yang berlebihan akan menyebabkan berbagai macam penyakit.

Read More
banner 300x250

Produksi beras masih tergantung kepada alam, saat ini belum banyak rekayasa iklim mikro untuk produksi beras skala komersial. Sehingga produksi beras dapat berfluktuasi bergantung kepada alam terebut. Indonesia merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. OECD-FAO (2020) memperkirakan produksi padi pada tahun 2020 mencapai 52,8 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Apabila dibandingkan dengan data produksi dari BPS untuk dua tahun sebelumnya, maka produksi tahun 2020 terjadi penurunan. Produksi padi pada tahun 2018 sebesar 59,2 juta ton GKG dan pada tahun 2019 mencapai 54,6 juta ton GKG.

(human consumption) di Indonesia menurut OECD-FAO pada tahun 2020 masih tinggi yaitu sebesar 134,41 kg/kapita/tahun termasuk peringkat dua tertinggi dari negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur, setelah Vietnam. Konsumsi beras di Vietnam mencapai 151,72 kg beras. Konsumsi beras/kapita di Jepang 52,79 kg , Korea Selatan 60,21, India 70,68 kg, China 76,53 kg, Malaysia 81,2 kg, Thailand 99,71 kg, dan Filipina 123,21 kg. Sedangkan konsumsi langsung rumah tangga menurut Kementerian pertanian pada tahun 2018 mencapai 96 kg/beras/kapita.

Dari produksi dan kebutuhan beras tersebut maka ada beberapa negara yang merupakan ekspotir dan ada yang importir. Indonesia termasuk negara pengimpor beras, sedangkan India, Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Amerika Serikat merupakan 5 negara pengekspor beras terbesar di dunia. Pada lima tahun terakhir, berdasarkan data BPS, impor beras tertinggi terjadi pada tahun 2018 yaitu sebesar 2,25 juta ton dengan menguras cadangan devisa sebesar 1,04 milyar dolar Amerika Serikat.

Konsumsi beras putih berlebihan akan menyebabkan obesitas dan penyakit diabetes. Data dari International Diabetes Federation (2019) menunjukkan bahwa di seluruh dunia terdapat penderita diabetes sebanyak 374 juta orang yang berusia antara 20-79 tahun. Diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 578 juta dan pada tahun 2045 akan mencapai 700 juta orang. Semakin besarnya jumlah penderita diabetes ini akan menjadi beban perekonomian dunia. Karena diabetes biasanya akan menyebabkan penyekit jantung, ginjal, mata dan lain-lain. Jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 10,7 juta orang, menempati urutan ketujuh setelah China 115,4 juta, India 77,0 juta, Amerika Serikat 30,9 juta, Pakistan 19,4 juta, Brazil 16,8 juta dan Meksiko 12,8 juta.

Melihat bahaya konsumsi beras berlebihan baik dari segi pengurasan devisa maupun penyakit, maka perlu ada usaha dari pemerintah yang serius untuk megurangai konsumsi beras secara sistemik dan sistematik. Substitusi beras jangan lagi dengan sumber karbohidrat lainnya, karena selain akan menyebabkan penyakit juga akan bersaing dengan penggunaan lainnya.

Beberapa negara Asia Timur mensubstitusinya dengan sayuran, buah-buahan dan protein hewani. Untuk Indonesia barangkali dimulai dengan mensubstitusinya dengan sayuran dan buah-buahan lokal, selain harganya lebih murah dari beras juga mudah diperoleh serta menyehatkan tubuh, karena mengandung serat yang banyak. Seandainya sampai tahun 2030 ditargetkan pengurangan konsumsi langsung rumah tangga sebesar 20 persen saja, maka akan mengurangi konsumsi beras sebesar 5,7 juta ton beras atau menghemat devisa sebesar 2,4 milyar dolar Amerika Serikat.

Dengan asumsi menggunakan data proyeksi penduduk dari BPS-BAPPENAS untuk tahun 2030 yaitu sebesar 296,4 juta jiwa dan mengggunakan harga impor beras tahun 2019 yaitu sebesar 414,5 dolar AS/ton. Usaha pengurangan konsumsi beras dengan mensubstitusinya dengan sayuran dan buah-buahan lokal harus dilakukan dengan kampanye besar-besaran dan memanfaatkan chef selebritas dengan sasaran segala usia, khususnya anak-anak dan milenial.

Kampanye juga dilakukan di sekolah sejak PAUD sampai SLTA. Di sisi lainnya pemerintah mendorong dan memberikan insentif kepada masyarakat iuntuk memproduksi sayuran dan buah-buahan lokal dengan produktivitas tinggi dan harga murah.

Beberapa negara yang merupakan pengekspor utama beras seperti Thailand dan Vietnam, akibat adanya pandemi Covid -19, lebih mengutamakan kebutuhan dalam negerinya daripada untuk diekspor. Hal ini merupakan warning bagi Indonesia untuk dapat memenuhi berasnya sendiri, dengan menggenjot produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi serta diversifikasi pangan yang menyehatkan dengan sayuran dan buah-buahan. Mudah-mudahan adanya Covud-19 ini sebagai momentum untuk kita semua untuk mandiri pangan dan mengurangi konsumsi beras. (**)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60