GORONTALO – akhirnya, konflik kepemilikan lahan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo dengan Pemkab Bone Bolango (Bonebol) di Obyek Wisata Lombongo, Kecamatan Suwawa Tengah, Bone Bolango berbuah manis. Pemprov pemilik lahan dengan sertifikat sah, menghibahkan 3 dari 32 hektar lahan kepada Pemkab Bone Bolango untuk kepentingan pariwisata, Rabu (12/8/2020).
Mediasi kedua belah pihak dilakukan oleh Koordinator Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) KPK dihadiri BPKP, Kejaksaan serta Kanwil Agraria/Badan Pertanahan Nasional. Para pihak itu harus turun tangan, sebab ini tentang kejelasan aset daerah dan pengelolaannya yang wajib dipertanggungjawabkan.
“Jangankan tiga hektar, semua (32 hektar) lahan diminta, kami kasih. Syaratnya harus jelas dulu pembangunannya. Road mapnya harus jelas dan sebisa mungkin melibatkan investor swasta agar pengelolaannya berkelanjutan,” ucap Rusli.
Kecemasan Rusli tentang pengelolaan pariwisata di daerah cukup masuk akal. Pentadio Resort dan Kebun Binatang di Kabupaten Gorontalo serta Water Boom di Bolihutuo, Boalemo menjadi potret suram destinasi wisata yang dikelola dengan APBD.
Rusli punya impian besar menjadikan Lombongo sebagai kawasan geopark yang terintegrasi dengan Danau Perintis. Tidak sampai pada angan-angan, Rusli bersama unsur Forkopimda tahun 2019 lalu sempat studi banding di Sari Ater di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pemiliknya diyakinkan untuk mau berinvestasi di Lombongo.
“Sari Ater itu dikelola swasta. Ancol di Jakarta dikelola oleh swasta. Fasilitasnya bagus, tidak menggerogoti anggaran daerah, hasilnya pas, maksimal dan dikelola profesional,” imbuhnya.
Apa yang selanjutnya terbaca dari proses hibah tanah antar kedua pemerintah yakni adanya komitmen bersama untuk mendukung pengembangan wisata Lombongo. Meski belum dalam taraf investasi swasta, namun Bupati Hamim Pou menyanggupi untuk investasi Rp15 miliar di obyek wisata yang dikelola pemerintahannya itu. Gubernur Rusli mendukung komitmen itu dengan berjanji mengalokasikan Rp5 miliar ke Pemkab Bone Bolango.
Lebih dari sekedar komitmen, konflik lahan Lombongo juga bisa dibaca dari kebesaran hati kedua pimpinan daerah untuk mencari solusi terbaik. Pada gilirannya kepentingan rakyat dan daerah menjadi yang utama.
“Saya tidak punya kepentingan apa-apa baik itu politik maupun pribadi. Saya contohkan Rumah Sakit Toto. Pak Hamim sampaikan ke saya minta lahan, tadi saya bilang bikin saja suratnya Pak Hamim. Nanti saya tanda tangan. Itu luasnya 80 hektar, saya akan setujui karena untuk kepentingan rakyat,” pungkasnya.
Untuk diketahui, aset lahan Lombongo diawali dari aset Balai Benih Induk Holtikultura, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Pasca pemekaran daerah tahun 2000 lalu, status lahan milik Pemprov Sulut semuanya dialihkan melalui mekanisme Penyerahan Personil, Saranan dan Prasarana (P3D) ke Pemprov Gorontalo.
Beberapa dokumen yang berhasil diperoleh untuk menguatkan penjelasan tersebut di antaranya Surat Keterangan Pemilikan Lahan yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo periode tahun 1987-1991, Syamsuddin Sailellah.
Berikut ada Surat Pernyataan Pengguasaan Fisik atas Tanah Negara, Agustus 2007. Surat tersebut ditandatangani di atas materai 6.000 oleh Kepala Desa Lombongo aktif saat iu Yahya Abukala. Surat dilengkapi dengan tandatangan saksi mantan Kepala Desa Lombongo Ayuba Tanggudango dan Mohamad K. Lalu selaku staf UPTD Balai Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo.
Puncaknya keluar surat Keputusan Bupati Bone Bolango no. 237 Tahun 2007 tentang Penetapan Lokasi Balai Benih Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Gorontalo di Kabupaten Bone Bolango. Bupati Ismet Mile kala itu yang bertanda tangan di atas surat.
Dengan proses yang cukup panjang tersebut, barulah di tahun 2017 keluar sertipikat tanah milik atasnama Pemprov Gorontalo oleh Badan Pertanahan Nasional. Sertipikat tersebut terdiri dari dua buah masing masing luasnya 83.600 meter persegi dan 178.700 meter persegi. Sertipikat tersebut termasuk areal atau kawasan kolam pemandian air panas. (adv)
Sumber: Humas Pemprov Gorontalo