Pojok6.id (Buton Tengah) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buton Tengah (Buteng) melalui Komisi I mengelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama pihak Eksekutif dan Front Masyarakat Polindu Menggugat, terkait sengketa tanah pembangunan Sanggar Seni Pemerintah Desa Polindu, Kecamatan Mawasangka, Senin (7/8/2023).
Dalam RDP ini dihadiri Staf Ahli Bidang Pemerintahan Hukum dan Politik Sekretaris Daerah, Asisten I Bidang Kesejahteraan Rakyat, Sekdin Dinas PMD, perwakilan BPKAD, Kabag Hukum, Camat Mawasangka, Kepala Desa Polindu, Front Masyarakat Polindu Mengugat dan Ahli Waris (pemilik tanah).
Dari pantauan media, RDP turut dihadiri mantan Kepala Desa Polindu periode 1985-1998 La Salindo, dan mantan Kepala Desa Polindu periode 1998-2006 Sukri, serta dihadiri sejumlah aparat desa dan masyarakat Desa Polindu.
Memimpin langsung jalannya RDP, Ketua Komisi I DPRD Buteng, La Ode Ali Alam, mengatakan, setelah mendengar hasil penjelasan kedua belah pihak, baik penjelasan Kepala Desa Polindu dan Front Masyarakat Polindu Menggugat bersama ahli waris, menurutnya saling kontrakdiksi. Sebab, mereka sama-sama memiliki dasar bukti yang ditunjukan perihal kepemilikan tanah.
Lebih lanjut, anggota DPRD Fraksi NasDem ini menyampaikan, ahli waris telah memiliki sertifikat pada tahun 2000 yang dibenarkan oleh mantan kepala desa sebelumnya (periode 1998-2006) di masa pemerintahannya. Sedangkan sebaliknya pernyataan data kepala desa saat ini, membenarkan desa secara hukum bahwa mareka memiliki sertifikat aset desa tahun 1989 di masa pemerintahan mantan kepala desa (1985-1998).
“Ini berarti terjadinya tumpang tindih sertifikat di atas sertifikat,” ucapnya.
Sehingga melalui RDP ini, DPRD tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan salah atau benar. Maka dari itu, berdasarkan pertimbangan keamanan dan kenyamanan masyarakat Desa Polindu, DPRD mengeluarkan dua rekomendasi yakni ;
• Merekomendasikan Kepala Desa Melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinas PMD) atas pertimbangan keamanan dan kenyamanan masyarakat Desa Polindu tanpa mengugurkan hak masing-masing warga negara di mata hukum untuk mengeser lokasi gedung pembangunan sanggar seni di tempat tidak bersengketa.
• Merekomendasikan Pemerintah Desa Polindu didampingi Pemerintah Daerah melalui Kepala Bagian Hukum (Kabag Hukum) Sekretariat Daerah Buton Tengah, untuk melakukan upaya hukum penyelesaian tanah sengketa.
“Lahir kesepakatan ini dapat didengarkan kedua belah pihak untuk tidak ada lagi konflik permasalahan berkaitan persoalan sengeketa tanah ini. Kemudian jika mareka bertemu dihadapan hukum saling menggugat (Pengadilan) disitulah tempat membuktikan keadilan pembenaran masing-masing hak yang mareka klaim,” ucap La Ode Ali Alam .
Di tempat yang sama, Anggota Komisi I DPRD Buteng, Saadia, menyampaikan, kisruh sengketa tanah di Desa Polindu diharapkan tidak menimbulkan konflik di masyarakat.
Menurut dia, pengakuan sertifikat yang dimiliki desa dan masyarakat ahli waris tanah ini belum clear. Pasalnya, ini perlu dipelajari dokumen letak titik lokasi sebenarnya, di mana letak tanah bersertifikat milik desa yang diperoleh dari provinsi dan lokasi sertifikat milik masyarakat ahli waris.
“Kami akan pelajari dokumen sertifikat kedua belah pihak karena kita juga belum mengetahuinya. Olehnya itu, kita akan uji lokasi titik keduanya untuk menentukan dimana sertifikat yang dipegang kepala desa dan dimana titik lokasi dimiliki masyarakat ahli waris,” jelasnya.
“Kompleks itu (kawasan tanah sengketa) jangan ada dulu pembangunan. Sebab, ini belum diketahui pasti siapa pemiliknya karena sama-sama diklaim, sehingga harus kita uji terlebih dahulu,” tegas Anggota DPRD Fraksi Golkar ini.
Sementara itu, Ahli waris pemilik tanah, Diman Safaat mengatakan, sangat menerima dengan baik hasil rekomendasi DPRD melalui Komisi I. Bahkan, Diman mengaku mendukung pembangunan gedung sanggar seni Pemerintah Desa Polindu, akan tetapi bukan di lokasi tanah bersengketa.
Diman mengklaim, lokasi awal rencana gedung sanggar seni oleh pemerintah desa merupakan tanah kebun milik almarhum kakeknya, yang dimiliki sejak dulu dan telah bersertifikat pada tahun 2000 melalui program prona. Namun, ukuran tanah waktu itu hanya sebatas ukuran pemukiman, sehingga luasan tanah kebun milik kakeknya tidak diukur secara keseluruhan.
Pada tahun 2018, lanjut kata dia, sambungan tanah yang belum bersertifikat milik almarhum kakeknya kembali diukur oleh orang tuanya (Aziludin) melalui program prona di desa, akan tetapi pada tahun 2021 pada saat pembangian sertifikat oleh Pemerintah Desa Polindu, sertifikat tersebut tidak keluar.
Sedangkan kata Diman, biaya pengukuran sertifikat itu telah dibayar dan diterima oleh salah satu anggota BPD, yang saat itu ikut serta mengukur bersama petugas Badan Pertanahan Buton Tengah.
“Atas dasar tersebutlah kami menolak lokasi awal pembangunan sanggar seni dan kami juga menolak rencana pembangunan sanggar seni yang berada di belakang lokasi tanah bersertifikat, karena pada dasarnya tanah yang tepat di belakang itu merupakan tanah kesatuan sambungan tanah bersertifikat yang sudah diukur, namun belum dikeluarkan sertifikatnya,” ungkapnya
“Oleh karena itu, sesuai rekomendasi DPRD bahwa gedung pembangunan dipindahkan lokasinya, maka kami meminta Pemerintah Desa Polindu melakukan pembangunan gedung sanggar seni bukan di lokasi milik kami sebagai ahli waris, baik yang sudah bersertifikat ataupun tanah kesatuan sambungan yang belum bersertifikat,” tegasnya. (adv)