AMERIKA SERIKAT – Para pegiat lingkungan gembira melihat perubahan positif udara bersih, tingkat emisi karbon dioksida yang lebih rendah, dan air yang lebih bersih – ketika pandemi virus corona melanda AS pada pertengahan Maret 2020. Akan tetapi karantina wilayah selama berbulan-bulan itu juga telah mengakibatkan bertambahnya konsumsi secara daring (online), disertai dengan semakin meningkatnya sampah seperti kantong plastik, gelembung pembungkus, masker penutup wajah dan sarung tangan.
Amara Wijithong secara hati-hati memeriksa setiap inci teluk yang berada dekat kota wisata Thailand, Pattaya. Bersama ayahnya, Amara membersihkan air dari tempat sampah plastik. “Saya khawatir setelah COVID laut akan dipenuhi dengan sampah! Sebagian ahli lingkungan setempat menyatakan jumlah sampah plastik naik 50% pada bulan April 2020. Dan 80% dari sampah itu adalah wadah makanan plastik, botol air dan gelas serta paket bungkusan sekali pakai.”
Ketika pandemi melanda AS pada pertengahan Maret lalu, jumlah pembelian secara online meningkat 240%. Jutaan kantong plastik, bungkusan, aerosol, sarung tangan dan masker penutup wajah dikirim ke rumah-rumah di seluruh Amerika setiap hari. Akibatnya, jumlah sampah plastik itu memenuhi kota-kota.
“Hanya pada bulan Maret dan April 2020, di tengah pandemi ini, kami amati di satu stasiun pompa air limbah terjadi peningkatan 17 ton tisu pembersih, dibandingkan Maret dan April tahun lalu ketika tidak berada dalam pandemi,” kata Lyn Riggins dari Washington Suburban Sanitary Commission.
Penggunaan kantong plastik juga meningkat secara dramatis. Beberapa negara bagian menunda penerapan larangan terhadap kantong plastik karena pandemi dan sebagian toko grosir berhenti mengizinkan penggunaan tas daur-ulang yang dapat digunakan kembali untuk menghindari penyebaran virus corona.
Sebagian ahli lingkungan mengemukakan gerakan tersebut tidak membantu. “Sebuah studi penelitian yang dilakukan Johns Hopkins melaporkan bahwa dari semua bahan materi, COVID-19 itu bertahan lama di plastik. Jadi itu sebenarnya bertentangan dengan apa yang mereka kutip,” ujar Jackie Nuñez, pendiri “The Last Plastic Straw”.
Sebagian perusahaan daur ulang juga berjuang karena jatuhnya harga minyak. “Pendaur ulang mengeluarkan biaya untuk mengumpulkan limbah dan mengolahnya, kemudian menjual bahan daur ulang tersebut – dan harga itu ditetapkan sesuai dengan harga minyak. Jadi ketika harga minyak turun, banyak pendaur ulang tidak bisa bersaing!,” kata Tom Szaky, pendiri TerraCycle.
Para pemerhati lingkungan menyatakan setiap tahun sekitar 8 juta ton plastik berakhir di laut. Para pakar memaparkan, produksi plastik dapat meningkat 40% dalam sepuluh tahun mendatang. Karena hanya sebagian kecil yang dapat didaur ulang, skenario itu terlihat sangat suram.
“Di mana kita melihat plastik? Banyak orang yang khawatir karena begitu mereka mulai mencari potongan yang lebih kecil, mereka dapat menemukannya di banyak tempat!”
Menurut Pew Research Center, lebih dari 64% warga Amerika menyatakan melindungi lingkungan harus menjadi prioritas kongres. Tetapi para ahli itu khawatir bahwa pandemi dan dampak ekonominya dapat mendorong isu lingkungan dan polusi keluar dari prioritas tersebut. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia