Kalong Putih, Kelelawar Endemik Sulawesi di Desa Olibu Terancam Punah

Ilustrasi

GORONTALO – Keberadaan Kalong Putih, Kelelawar pemakan buah yang berada di Desa Olibu, Kabupaten Boalemo terancam punah. Aktivitas perburuan massif oleh warga menjadi ancaman kepunahan dari satwa endemik Sulawesi itu.

Kalong Putih (Acerodon Celebensis)  yang merupakan jenis kelelawar paling besar itu banyak diburu karena  memiliki nilai jual yang cukup tinggi.

Hal itu juga diakui Safriyanto Dako peneliti kalong di Desa Olibu.Ia mengatakan Kalong Putih saat ini terancam keberadaanya bahkan terancam punah di alam liar.

“Dampak paling besar atas kepunahan kalong putih itu, warga melakukan perburuan dengan menggunakan senjata api, ini malah memparah habitat dari tempat tinggalnya. Apalagi kami mendapati harga jual kelelawar di kisaran harga Rp 30.000-Rp 60.000, tergantung ukurannya juga,” kata Safriyanto yang juga akademisi Universitas Negeri Gorontalo itu.

Ia juga mengatakan, populasi kelelawar putih atau kalong putih di Gorontalo belum dapat dipastikan berapa banyaknya. Namun ia  memperkirakan sampai dengan saat ini populasi kalong putih di alam liar kurang dari 10.000 ekor.

“Bahkan dalam penghitungan dengan menggunakan metode selama 6 bulan, diperkirakan sekitar 3.000 – 4.000 kelelawar yang berhasil ditangkap dan keluar dari habitatnya,” ungkapnya.

Dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi Konservasi Kelelawar Berkelanjutan di Desa Olibu Provinsi Gorontalo,” Safriyanto mencatat, kalong putih tersebut hidup dan tinggal di hutan mangrove bagian barat  Desa Olibu yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau wilayah in-situ.

“Berdasarkan hasil pengamatan tim PPDM (Program Pembangunan Desa Mandiri), wilayah Desa Olibu terdapat kawasan mangrove. Kawasan mangrove membentang menutup ¾ garis pantai bagian barat dan timur. Bagian barat dihuni satwa kelelawar (Acerodon Celebensis dan Pteropus Alecto) dan ditetapkan sebagai kawasan in-situ,” tulis Safriyanto pada penelitian tersebut.

Penelitian itu juga menjelaskan bahwa, jika frekuensi perburuan kelelawar oleh masyarakat tetap terjadi, maka satwa kelelawar tersebut akan melakukan imigrasi. Sedangkan untuk menunggu kelelawar kembali ke habitat semula, harus menunggu waktu cukup lama, 6 bulan sampai 1 tahun dan bahkan lebih.

“Kelelawar sangat rentan dan bergantung pada daya dukung lingkungan. Kerentanan ini disebabkan sifat dan produktivitasnya rendah, lamanya waktu asuh dan perkembangannya yang lamban,” tulis pada penelitian tersebut.

Untuk mengurangi dampak perburuan yang dilakukan oleh warga, dalam penelitian tersebut membuat rekomendasi kesepakatan sebagai berikut; melarang penebangan hutan bakau tanpa seizin pemerintah Desa Olibu, penangkapan kelelawar dilarang menggunakan senjata api dan sejenisnya, frekuensi penangkapan kelelawar dua kali seminggu dan kelelawar yang ditangkap harus disortir. (IYS)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60