Oleh: Hafiz Aqmal Djibran, S.Ikom. (Mahasiswa UMM, Anggota PB HPMIG periode 2024 – 2026)
Pojok6.id (Opini) – Bayangkan anda adalah masyarakat Gorontalo. Hari ini anda membaca berita hangat yang informasinya ‘begini’, keesokan harinya ‘begitu’. Hari ini anda memahami informasi resmi dari pemangku kebijakan, tiba – tiba besoknya informasi tersebut diklarifikasi oleh mereka sendiri pula.
Inilah realita masyarakat Gorontalo, terkekang dalam polemik Bank SulutGo (BSG) yang kebijakannya berpusar disitu saja yang membuat masyarakatnya pusing menerima informasi secara utuh. Polemik BSG terjadi sekitar seminggu yang lalu pasca Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) yang dimana pemerintah Gorontalo sebagai pemegang saham ‘kecewa’ atas hasil rapat tersebut. Kekecewaan terjadi karena dalam pemilihan Komisaris dan Direksi BSG, tidak ada satupun perwakilan dari Gorontalo. Konsekuensinya, walikota Gorontalo beserta bupati kabupaten Gorontalo, Boalemo, dan disusul Bone Bolango menyatakan sikap dengan menarik modal pemerintah dari kas BSG. Pernyataan para kepala eksekutif tersebut secara langsung menjadi kabar hangat di media dan menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Seminggu pasca RUPS Luar Biasa berselang pernyataan yang disampaikan oleh para kepala daerah (bupati/walikota/gubernur) terkesan mengambang dan seperti bersifat gertakan saja. Pernyataan secara langsung maupun melalui juru bicara hingga saat ini masih simpang siur. Terkadang pernyataan yang muncul di media tidak sesuai dengan apa yang diucapkan sebelumnya. Pernyataan yang awalnya terkesan keras dan tegas, akhir – akhir ini menjadi formal dan sangat diplomatis.
Pada kenyataannya, berbagai pernyataan yang disampaikan oleh para kepala daerah tidak menjadi masalah. Penulis mengamini hal tersebut merupakan bagian dari komunikasi politik yang dinamis. Namun alih – alih mendapatkan titik terang, pernyataan yang disampaikan para kepala daerah makin menjauh dari substansi masalah dan berujung pada masalah personal. Bahkan menciptakan ‘gap’ antara kepala daerah. Lagi – lagi masyarakat yang harus menanggung akibat dari polemik BSG ini.
Secara tidak langsung kebingungan muncul di masyarakat akibat informasi yang simpang siur dan semakin jauh dari substansi permasalahan yang ada. Contoh kebingungan yang nyata terjadi bisa dilihat pada aksi protes mahasiswa di Kantor Wilayah BSG Gorontalo (padahal yang berpolemik adalah pemerintah).
Di titik inilah fungsi wakil rakyat (DPRD) dijalankan. Lembaga DPRD sebagai pengawas pemerintah seharusnya menjadi pencerah dari segala problematika yang terjadi. DPRD bisa menggunakan haknya untuk meminta kejelasan dari eksekutif terkait duduk perkara BSG. Selama ini DPRD terlihat seperti ‘pengawal’ kepala daerah yang seharusnya sebagai ‘pengawas’ kepala daerah. Oleh karena itu, DPRD bisa menggunakan haknya dalam isu sengketa BSG. Salah satu hak DPRD yang memungkinkan digunakan untuk mengatasi permasalahan ini adalah hak interpelasi. Hak interpelasi merupakan wewenang DPRD untuk meminta keterangan dari kepala daerah terkait kebijakan yang bersifat strategis, penting, dan memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Kembali ke konteks polemik BSG dan pemerintah Gorontalo, hak interpelasi DPRD sangat relevan dan solutif untuk digunakan saat ini.
Kenapa? Alasan yang pertama, polemik BSG sangat berkaitan dengan isu keuangan daerah. Hal ini tentunya berdampak luas pada stabilitas ekonomi daerah dan pelayanan publik. Potensi dari polemik ini tentunya ada pada masyarakat khususnya dalam transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Alasan kedua, pasca RUPS Luar Biasa, polemik BSG belum mendapatkan titik terang yang kongkrit. Pernyataan – pernyataan yang muncul di media terkesan ‘one man show’ dan semuanya hanya dari kalangan politisi. Media juga berperan penting untuk memberi ruang kepada pakar ekonomi untuk menjelaskan pro – kontra jika Gorontalo menarik dana dari BSG. Polemik BSG juga mulai merambah ke isu – isu sensitif seperti faktor primordial Gorontalo – Sulut, harga diri daerah, dan serangan secara personal (ad hominem) pada satu figur kepala daerah. Hal ini menimbulkan perdebatan yang kontra produktif dalam ranah publik. Alasan ketiga, dalam hak interpelasi fakta – fakta penting dalam polemik BSG bisa terungkap. Tentunya terdapat mekanisme yang menjelaskan tata cara usulan hak interpelasi dari anggota DPRD (Pasal 379 ayat 1 UU MD3).
Usulan hak interpelasi di DPRD tidak semudah membuat tulisan ini. terdapat tantangan dalam usulan ini. Salah satu tantangan dalam hal ini adalah konsensus politik di parlemen. Perbedaan kepentingan antara partai politik/fraksi di tubuh parlemen tentunya akan menghambat usulan hak interpelasi. Olehnya, dukungan antar fraksi sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Dorongan terhadap DPRD mengajukan hak interpelasi dalam polemik BSG ini juga menyoroti kinerja DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan. Tentunya penulis yakin dan percaya bahwa DPRD baik kota maupun provinsi memiliki political will dalam permasalah ini. Mengingat dinamika politik lokal kita hanya berjalan di tempat tanpa adanya penyelesaian yang kongkrit dan elegan. Dan yang paling penting, masyarakat sipil dan media wajib memantau proses interpelasi (jika terjadi) agar proses tetap transparan.