Ajaran Gus Dur Mengenai Toleransi Melekat

Deretan lukisan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, dipajang di lobi sebuah hotel di Jakarta, Kamis, 22 November 2018. (Foto: Fathiyah Wardah/VOA)

Jakarta – Deretan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa , dipajang di lobi sebuah hotel di Jakarta. Semua lukisan itu menggambarkan Gus Dur sebagai tokoh kemanusiaan dan ikon toleransi di Indonesia.

Ada lukisan Gus Dur dengan latar Candi Prambanan merupakan peninggalan kerajaan Hindu, kemudian ada pula lukisan Gus Dur dengan latar Candi Borobudur merupakan peninggalan kerajaan Budha. Seluruh lukisan tersebut merupakan karya dari Nabila Dewi Gayatri.

Dalam sambutannya sebelum membuka pameran tunggal lukisan Gus Dur bertajuk Sang Maha Guru itu, Kamis (22/11), Sinta Nuriyah menjelaskan banyak cara untuk memberikan apresiasi dan menghidupkan semangat perjuangan para tokoh bagi kehidupan suatu bangsa.

Read More
banner 300x250

Dalam konteks ini, lukisan bikinan Nabila bukan sekadar karya kreatif yang memiliki estetika, tetapi juga merupakan ekspresi ideologis dan keberpihakan sang seniman itu sendiri terhadap nilai dan semangat perjuangan dari Gus Dur dalam merawat bangsa Indonesia.

“Ketika keberagaman sedang dihancurkan oleh sikap intoleran dan radikal, saat semangat persatuan dan persaudaraan dirobek-robek oleh egoisme kelompok dan fanatisme sempit, dan ketika spirit kebangsaan direncah-rencah oleh kedangkalan beragama yang menghancurkan kemanusiaan, maka upaya mengingat dan menyegarkan kembali spirit dan nilai-nilai perjuangan Gus Dur menjadi sesuatu yang niscaya,” said Shinta Nuriyah.

Pelukis Nabila menjelaskan Gus Dur adalah guru bangsa yang sudah mendedikasikan hidupnya bagi bangsa dan negara demi kemanusiaan dan keberagaman.

“Tentu saja (Gus Dur) bukan pahlawan untuk orang Islam atau orang NU saja. Tapi Gus Dur adalah pahlawan bagi kita semua, bagi khalayak umum. Karena Gus Dur adalah sang pencerah, panutan banyak umat beragama,” papar Nabila.

Menurut pelukis Gus Dur, Nabila, presiden Indonesia keempat tersebut layaknya obor dalam kegelapan. Apalagi, dia mengklaim, Indonesia saat ini tengah dirongrong oleh radikalisme dan purifikasi yang berlebihan.

Melalui lukisan-lukisannya, Nabila menekankan dirinya berusaha menghadirkan Gus Dur dalam keseharian masyarakat. Ia menambahkan dirinya menyebut Gus Dur sebagai Maha Guru karena Gus Dur memiliki karamah, yakni setelah meninggal Gus Dur memberkati sekitarnya.

Istri mendiang Gus Dur, Shinta Nuriyah sedang melihat pameran lukisan mendiang suaminya yang dipajang di lobi sebuah hotel di Jakarta, Kamis, 22 November 2018. (Foto: Fathiyah Wardah/VOA)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengatakan Gus Dur bukan hanya milik seluruh warga NU tapi juga seluruh bangsa Indonesia dan bahkan umat manusia.

“Gus Dur bukan hanya milik NU tapi juga milik kita semua. Kita bangga dengan Gus Dur. Bahkan, umat manusia bangga dengan Gus Dur, sejajar dengan Mahatma Gandhi, Martin Luther, dengan pejuang-pejuang kemanusiaan,” kata Said Agil.

Budiharto dari Keluarga Cendekiawan Buddha Indonesia (KCBI) menilai mendiang Gus Dur sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh nasional yang sangat berperan penting dalam hubungan antar masyarakat, agama, dan golongan. Dia mengakui Gus Dur pantas dipanggil sebagai Maha Guru.

Lebih lanjut Budiharto mengungkapkan ajaran Gus Dur mengenai toleransi terhadap agama, golongan, dan budaya berbeda-beda masih melekat sampai sekarang.

“Dengan diwarisi pandangan nasionalisme beliau, maka kita semua generasi muda dan selanjutnya untuk menjaga NKRI ini dengan berlandaskan pada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945,dan Bhinneka Tunggal Ika,” kata Budiharto.

Mewakili Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Irene, mengatakan pendidikan kebangsaan dan budi pekerti yang didasarkan semangat kesatuan dan kemanusiaan harus diajarkan kepada semua segmen kehidupan, termasuk sekolah-sekolah dan lembaga agama.

“Masalah pluralitas dan intoleransi harusnya sudah tidak ada apabila kita konsisten terhadap konsep kebangsaan. Artinya, kita boleh punya identitas SARA (suku, agama, ras, dan golongan) yang beda, tetapi semua itu sudah harus disatukan dalam identitas sama, yaitu rasa kebangsaan Indonesia,” ujar Irene.

Irene menambahkan negara harus netral, tidak boleh terjebak dengan narasi mayoritas dan minoritas. Alasannya, negara adalah alat rakyat untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.

Setelah semua perwakilan agama menyampaikan pandangan mengenai pemikiran dan prinsip yang diyakini Gus Dur, mereka diajak melihat-lihat lukisan Gus Dur yang dipamerkan di lobi hotel tersebut. Suasananya lepas, canda dan tawa menyelingi obrolan Sinta Nuriyah dan Said Aqil dengan mitranya yang berasal dari agama, etnis, dan budaya berbeda.

Seperti idola mereka, Gus Dur, keberagaman merupakan modal untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. [*]

Sumber Berita dan Foto :

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60