Waduk Bukan Solusi Utama untuk Persoalan Banjir Gorontalo

Persoalan Banjir

GORONTALO – Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam () menilai bahwa pembangunan bukan merupakan solusi utama yang diperlukan untuk  persoalan .

Sebelumnya, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie memberi pernyataan bahwa salah satu solusi jangka panjang yang akan dicanangkan oleh pemerintah adalah pembangunan waduk Bone Ulu.

“Ini (waduk Bone Ulu) mau tidak mau harus jadi. Saya minta dukungan, kesadaran dan keikhlasan masyarakat,” ucap Gubernur Rusli Habibie usai kegiatan Du’a lo Ulipu atau doa keselamatan untuk negeri yang digelar, Ahad (2/8/2020), dilansir humaspemprov.go.id.

Read More
banner 300x250

Dalam rilis yang diterima redaksi pojok6.id, Ketua Divisi Riset dan Pengembangan Pengetahuan Japesda, Jalipati Tuheteru mengatakan rencana dari pemerintah itu bukan solusi utama yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan banjir.

Menurutnya salah satu penyebab banjir adalah kerusakan daerah hulu. Jadi, semestinya yang utama dilakukan pemerintah adalah mencari solusi pada masalah inti tersebut, bukan hanya menyediakan penampung air berupa waduk.

“Rencana tersebut terkesan hanya solusi sementara “ Ujarnya.

Jika alam atau hulu sudah rusak, Jalipati menyebut seharusnya solusi utama adalah melakukan restorasi dan rehabilitasi kawasan yang rusak.

“ Bukan hanya dengan pendekatan sipil teknis yang dikedepankan”Imbuhnya.

Mengacu Data dari Forest Watch Indonesia (FWI), Ia menjelaskan terjadi pengurangan secara signifikan hutan alam yang ada di Provinsi Gorontalo: tahun 2000 kawasan hutan alam Gorontalo masih seluas 823,390 hektar (Ha), tahun 2009 berkurang menjadi 735,578 Ha, tahun 2013 715,293 Ha dan pada tahun 2017 tersisa 649,179 Ha. Dari tahun ke tahun ada banyak hutan alam Gorontalo yang hilang.

“Waduk mungkin bisa jadi alternatif pendukung, tapi harusnya yang diutamakan adalah rehabilitasi besar-besaran tadi. Selain itu, memikirkan alternatif pendapatan petani yang menguasai kawasan hutan, serta penegakkan hukum pelaku perusakan hutan,” terang Jali.

Ia menambahkan FWI mencatat pada periode tahun 2009-2013, penyebab deforestasi di dalam kawasan hutan didominasi oleh konsesi pertambangan dengan jumlah 6.036 hektar, diikuti tumpang tindih lahan pertanian 3.133, perkebunan kelapa sawit 1.645 ha dan Hutan Tanaman Industri (HTI) 987 ha. Kemudian, deforestasi meningkat pada tahun 2013-2017 di mana konsesi tambang menjadi 13.575 ha, tumpang tindih lahan 11.174 ha, perkebunan sawit 4.517 ha, sementara HTI seluas 9.819 ha.

“Evaluasi izin perusahaan tambang PT. Gorontalo Mineral (GM) dan tambang rakyat, dan evaluasi juga izin perusahaan sawit dan HTI,” tegasnya.(Rilis)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60