Utang Indonesia di Pemerintahan Jokowi-JK Meningkat

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan saat hadir di Universitas Sumatera Utara (USU), Senin, 18 Februari 2019. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)

Medan – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia, mengatakan peningkatan utang neto (bersih) Indonesia di masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang mencapai Rp.1.809 triliun per Desember 2018 sebenarnya masih terbilang sangat baik. Ia mengtakan, utang Indonesia pada masa pemerintahan sebelumnya pada tahun 2014 mencapai Rp 2.609 triliun.

Paparan utang masa pemerintahan Jokowi-JK sejak 2014-2018 tersebut disampaikan Luhut saat memberikan kuliah umum terhadap ratusan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), Senin (18/2). Dalam acara itu juga hadir Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), Ruhut Sitompul, dan Alwi Abdurrahman Shihab.

“Utang kita ada Rp 1.809 triliun tapi sebenarnya itu masih sangat baik. Kenapa harus kita lakukan (utang), kalau tidak begitu enggak jalan,” kata Luhut di Auditorium USU, Medan.

Read More
banner 300x250

Lanjutnya, utang dilakukan karena pertumbuhan ekonomi dan pendapatan pajak Indonesia terus menurun dari 2014 hingga kondisi infrastruktur yang tertinggal. Alhasil, pada 2015 dibutuhkan peningkatan belanja negara untuk mendorong perekonomian melalui belanja pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan dana desa.

“Kalau tidak ada ini, ekonomi tidak jalan,” tutur Luhut.

Dalam paparannya ada dua pilihan sumber pembiayaan peningkatan belanja yang dilakukan pemerintah dalam jangka pendek. Pertama,peningkatan tarif pajak, menurunkan investasi sektor swasta. Kedua,peningkatan utang pada level yang sustainable.

“Kalau peningkatan pajak ekonomi belum jalan itu berbahaya. Oleh karena itu kami pilih ini tadi,” sebut Luhut.

Namun, pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy menuturkan sumber pembiayaan belanja dengan cara peningkatan utang sustainable yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK seharusnya terlebih dahulu melihat cadangan devisa. Sebab, menurutnya, cadangan devisa Indonesia diukur dengan ekspor barang mentah yang tidak berubah sejak jaman penjajahan.

“Artinya ketika kita bilang melakukan pembelanjaan dengan utang. Dan utangnya sustainableyang kemudian dikonversi dengan cadangan devisa serta ekspor barang mentah maka sesungguhnya tidak ada kemajuan bagi bangsa kita. Jadi yang ada adalah peningkatan beban pada Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Apa artinya beban pada SDM? Per kapita meningkat itu terbukti. Beban SDA Indonesia semakin dikuras posisinya karena kita disyaratkan dengan utang yang sustainable. Itu yang tidak dilihat Luhut Binsar Panjaitan,” ucapnya kepada VOA.

Bukan hanya itu, Ichsanuddin juga menilai Jokowi dan tim ekonominya yang mengadopsi konsep Nairu (memantau korelasi negatif antara tingkat pengangguran dengan tingkat inflasi yang diukur dari pertumbuhan tahunan dari upah tenaga kerja secara nominal) telah gagal.

“Ketika gagal di pertumbuhan. Ketika gagal menstabilkan nilai tukar rupiah maka sesungguhnya secara makro gagal. Dua gambarannya, pertama adalah kegagalan pada posisi pertumbuhan. Kedua, risiko pasar yang demikian tinggi diindikasikan dengan nilai tukar yang ambruk secara terus menerus. Jadi walaupun inflasi terkendali. Maka sesungguhnya telah mengorbankan adanya pengangguran,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Bank Indonesia (BI) telah merilis utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan IV-2018. Pada periode tersebut utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 376,8 miliar atau Rp 5.312,8 triliun. [*]

Sumber Berita dan Foto:

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60