Dunia – Hubungan antara pers dan demokrasi menjadi tema utama peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini. Lebih dari 100 acara peringatan berlangsung di seluruh dunia.
Perayaan utama peringatan tersebut berlangsung untuk pertama kalinya di ibukota Ethiopia, Addis Ababa.
Billene Seyoum, sekretaris pers Perdana Menteri Ethiopia yang reformis, mengatakan, negara di Afrika Timur itu merancang undang-undang untuk menangani ujaran kebencian dan penyebaran informasi yang keliru.
Ethiopia dikenal sebagai negara yang memenjarakan banyak para jurnalis, sebelum perdana menteri baru Abiy Ahmed mulai menjabat pada April 2018. Pemerintahnya telah membebaskan puluhan wartawan.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, tidak ada seorang pun wartawan yang dipenjarakan di Ethiopia sekarang ini, dan publikasi baru berkembang di berbagai platform. Sejak Abiy berkuasa, negara itu telah mencabut pemblokiran terhadap lebih dari 260 situs di internet dan wartawan yang sebelumnya dilarang kembali ke rumah.
Tetapi organisasi media tersebut mencatat bahwa tantangan masih tetap ada bagi para jurnalis di Ethiopia, termasuk di antaranya risiko diserang dan ditahan, khususnya di daerah-daerah yang bergolak.
Pada hari Kamis, Penghargaan Kebebasan Pers Sedunia UNESCO/Guillermo Cano dianugerahkan kepada dua wartawan Myanmar yang dipenjarakan, Kyaw Soe Oo and Wa Lone, oleh para pejabat Ethiopia dan Uni Afrika. Kedua wartawan Reuters itu menjalani hukuman penjara tujuh tahun karena liputan mereka mengenai penindakan militer yang brutal terhadap Muslim Rohingya.
Bulan ini, One Free Press Coalition menyoroti kedua wartawan Reuters itu dalam 10 Kasus Paling Mendesak bersama-sama dengan kasus hilangnya wartawan Tanzania Azory Gwanda, wartawan Nikaragua Miguel Mora dan Lucia Pineda yang ditahan, wartawan India yang dipenjarakan Aasif Sultan dan lain-lainnya. [*]
Sumbe Berita/Foto : Voa Indonesia