Tumbilotohe: Yang Hilang dan Tersisa

Tumbilotohe
Tradisi Tumbilotohe. Foto: Bude (Rizkina)

Pojok6.id (Peristiwa) – Seorang teman, yang sama-sama merantau di luar Gorontalo, menandai saya di story Instagram-nya. Jauh-jauh pulang, ia berharap menemui Tumbilotohe yang syahdu dan nostalgik. Tapi ia tampaknya kecewa: sepanjang jalan yang ia temui, lampu-lampu botol (tohe butulu) kalah pamor dengan kelap-kelip lampu hias. Warna api yang bersahaja tenggelam tak berdaya. Hentakan kasidah dengan beat-beat cepat dan kencang, menambah gemerlapnya jalanan di penghujung bulan suci.

Seorang kawan lain, dengan nada satir, menulis seperti ini di status Whatsappnya: “kase jelas jo ini atau natal, kiapa kong so ada pohon terang?”. Tak lupa ia sisipkan emoji senyum berkeringat. Semacam ekspresi protes namun tak bisa berbuat apa-apa.

Lain lagi di grup Whatsapp keluarga. Foto lampu warna-warni di Ipilo dan Kampung Bugis hadir dengan pose-pose instagramble. Tumbilotohe dirayakan dengan riang gembira. Semarak. Penuh pernak-pernik. Macam remaja puber yang glowing dengan blush on, eye shadow, dan—tentu saja—goresan maut pensil alis.

Read More

***
Sebagai orang yang hanya bisa menikmati Tumbilotohe dari layar gawai, saya hanya bisa tersenyum sambil mengingat-ingat apa dan bagaimana saya dulu melewati empat malam terakhir Ramadhan di Gorontalo. Saya biasa melewati malam-malam ini di Limboto (tepatnya di Kelurahan Hutuo) dan Kota Gorontalo (tepatnya di Kelurahan Limba B). Di dua tempat yang, waktu itu, semi-rural dan semi-urban.

Sependek ingatan, rasa-rasanya sejak awal 2000-an, Tumbilotohe di Limboto biasa diperingati dengan suasana yang tenang dan bersahaja. Ayah saya akan mulai mengumpul bambu, balok kayu (lata), botol bekas dan kertas minyak untuk dibuat tanggolo ‘opo (lampion). Tak lupa pula alikusu (arkus) didirikan. Gerbang berbentuk kubah itu didandani lale (janur kuning), polohungo (bunga dayoh), dan tabongo (bunga lahikit). Kadang-kadang ada juga lambi (pisang) juga patodu (tebu) di sana.

Sekilas saya bisa melihat bagaimana buah dan tanaman yang lahir dari ibu bumi dihadirkan bersama cahaya-cahaya lampu botol yang menengadah ke langit. Sebuah orkestrasi puitik masyarakat agraris Gorontalo. Sebentuk terima kasih atas apa-apa yang telah Tuhan di langit turunkan. Ada juga harapan agar amal-amal baik selama bulan agung diterima di sisi Eya U Da’a. Dzat Pemiliki Nikmat dan Ampunan.

Dengan pemaknaan yang sama, pasang lampu di kota agak berbeda. Sejak awal-awal puasa, remaja muda masjid dan takmirul sudah sibuk merancang ragam acara, model lampion, keperluan anggaran, panitia pelaksana, hingga desain panggung utama festival. Meski tidak selalu dilombakan, tapi ada semacam kompetisi tak tertulis antara kelurahan, antar jamaah masjid, dan so pasti: antar rema-muda. Tomulobutao, Dulalowo, dan Tanggidaa adalah ‘lawan berat’ yang kerap menjadi ‘standar’ pelaksanaan Tumbilotohe.

Kami, rema-muda Masjid Al-Itihad, sejak awal Ramadhan sudah bergerilnya mengumpul sumbangan, list-donatur, botol bekas, minyak tanah, dan pasukan pemasang lampion. Di lingkungan kami yang semi-urban, tanggolo ‘opo tidak dipasang mandiri oleh warga (sebagaimana Ayah saya di Limboto). Demi keseragaman dan kepraktisan, pengadaan lampion ini diambil alih oleh kami, rema-muda yang penuh energi dan percaya bahwa dunia akan sunyi-sepi jika kami tidak begerak menghiasinya dengan Tumbilotohe.

H-7 pasang lampu, panggung mulai didirikan. Bekas karung semen disulap menjadi dekorasi bebatuan yang indah dan berbiaya rendah. Harus pula ada: kursi, televisi, VCD player, dan speaker aktif berdaya besar. Tak dum dum das! Takbiran versi remix bersahut-sahutan dengan suara aaamiiiin dari taraweh masjid yang shaf-nya sudah ‘kembali normal’.

Begitulah. Di kota, Tumbilotohe dilewati dengan semarak ala anak muda. Lampu-lampu botol bersanding dengan satu-dua lampu kelap-kelip dan lampu kreasi. Menyambut gairah itu, para politisi dan birokrat mulai menambahkan nuansa dan istilah baru pada ini. Mulailah kita mengenalnya dengan sebutan: Festival. Kata latin yang secara harafiah berarti “pesta”. Pesta Pasang Lampu.

***
Mengingat kejadian-kejadian ini, akhirnya saya sadar bahwa Tumbilotohe sejak (setidak-tidaknya 20 tahun lalu) telah mengalami perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Para konservatif menyebutnya: pergeseran. Sebagian lain menyebutnya: kreativitas. Saya tidak ingin terjebak atau menghakimi pandangan-pandangan ini. Sebab, sebagaimana banyak elemen lain dari kebudayaan, selalu saja ada hal-hal yang hilang, ada hal-hal yang harus tetap tinggal. Selalu saja ada yang berubah. Bersama kritik terhadapnya.

Begawan kajian budaya Inggris, Raymond Williams, suatu kali mendalilkan bahwa kebudayaan yang berkembang dan memperbarui dirinya, haruslah berhadapan dengan kritik kebudayaan. Juga, harus membuka diri terhadap kritik itu. Kontestasi dan pengujian itu pasti. Berlaku untuk nilai-nilai dan perilaku budaya, apalagi untuk sesuatu yang dianggap suci atau luhur. Seperti Tumbilotohe ini.

Sebagai momen perayaan komunal, pasang lampu terus diadakan untuk ‘memaksa’ kita mengingat bagaimana para leluhur menempatkan tradisi dalam praktik beragama yang khas. Harapan akan turunnya kebaikan seribu bulan disambut dengan simbol-simbol ala masyarakat agraris macam lale, polohungo, hingga patodu. Sembari itu, para alim ulama terus mengisahkan bagaimana padalama (lampu minyak kelapa), totabu (dupa), dan alama (kemenyan) digunakan oleh orang-orang tua dulu untuk menuntun mereka ke langgar, surau, atau masjid di kampung-kampung Gorontalo. Cahaya dan bebauan itu hadir sebagai panggilan untuk ‘merasakan’ kehadiran cinta Tuhan di semesta yang rentan.

Sebagai momen pribadi yang intim, pasang lampu selalu dirindu untuk ‘memaksa’ hippocampus otak untuk menggali kembali kenangan indah masa kecil, masa remaja. Menurukan kadar hormon stress sembari mensyukuri masa lalu yang telah membentuk pribadi kita sebagai manusia Gorontalo. Sebagai ruang pilo tutuwa ola’u.

Alikusu, tohe butulu, lampu kelap-kelip dan dentum musik seolah mengisyaratkan secara gamblang bagaimana kebudayaan Gorontalo telah mengalami pelestarian serta perubahan di saat yang bersamaan. Perubahan yang mau-tidak-mau suka-tidak-suka sedang terjadi dan tengah kita hidupi. Perubahan yang telah menubuh dalam kebudayaan kita.

Secara historis, Alim S. Niode dalam Gorontalo: Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata Sosial (2007), membilangkan bahwa sejak dulu, masyarakat Gorontalo telah terbiasa memasukan yang lama pada yang baru. Mengikuti pola sinkretisme. Yang campur-aduk, padu-padan, menuju suatu keseimbangan.

Pada mulanya, sinkretisme tersebut menggabungkan adat dan syarak. Lalu antara adat, syarak dan Qur’an. Kemudian seturut periode kolonial, sinkretisme baru menggabungkan adat, Islam dan Eropa—yang lalu gagal dan berganti dengan campur-padu sistem adat, sistem Islam dan sistem Indonesia ala Orde Baru.

Kini, pencampuran ini terus berlangsung. Berkelindan di antara kebutuhan untuk eksis di TikTok dengan keharusan untuk melestarikan tradisi yang luhur. Disitu kemudian kita mendapati diri kita yang lama sekaligus asing. Sebagai pribadi yang hybrid, terus berubah, dan menanti jakati di hari yang fitri. Bolo maapu. (**)

Oleh: Hasrul Eka Putra
Lahir dan besar di Gorontalo. Kini tinggal di Makassar. Sehari-hari bekerja di Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan.

Related posts