Jakarta – Kata Orde Baru dan kiprahnya selama 32 tahun kembali menyeruak ketika Siti Utami Endang Hadiningsih atau akrab disapa sebagai Mamiek Soeharto, anak mendiang presiden kedua Indonesia, Soeharto, menyerukan ingin Indonesa kembali pada era orde baru pada kampanye-kampanyenya. Mamiek Soeharto mengkampanyekan pasangan capres-cawapres nomor urut dua Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kampanye itu ternyata bayak mendapat sambutan termasuk kelompok milenials, yang bahkan belum lahir pada era Soeharto itu.
Dalam diskusi publik Institute for Indonesia Local Policy Studies (ILPOS) “Generasi Milenial Bicara Orde Baru” di Jakarta, awal pekan ini, Ketua bidang akreditasi nasional Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Alvi Aviv menyoroti Orde Baru sebagai masa dimana tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan berdemokrasi. Siapa pun yang mengkritik pemerintah, dapat dibungkam dan menginap di hotel prodeo ujarnya. Orde Baru juga dianggap mengetahui pembantaian pasca pemberontakan 1965.
Berdasarkan apa yang diketahuinya terjadi pada masa Orde Baru itu, Alvi mengajak generasi milenials menjadi agen perubahan demokrasi yang lebih baik. Bahkan terjun langsung ke dunia politik untuk menjadikan Indonesia lebih baik.
“PR (pekerjaan rumah.red) kita satu sebagai generasi muda, generasi millenials. Yaitu bagaimana kita mengubah pola demokrasi yang sebelumnya dari demokrasi yang mobilitatif, menjadi demokrasi yang partisipasi. Bagaimana kita mewujudkan itu sehingga orang-orang muda seperti kita atau aktivis seperti kita yang hari ini menunda mapan demi mengusung organisasi, menunda kaya, bahkan menunda menikah mungkin karena mengusung organisasi bisa masuk ke politik tanpa ada keraguan apapun. Tidak takut politik mahal, tidak takut politik itu berbiaya besar, maka dari itu kita ubah pola demokrasi kita menjadi demokrasi mobilisasi menjadi demokrasi partisipasi,” ujar Alvi.
HMI Nilai Orba Sukses Dorong Industri Dirgantara & Swasembada Pangan
Dalam kesempatan yang sama Ketum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) R. Saddam Al Jihad menilai ada beberapa hal postif yang bisa dipetik dari jaman orde baru. Antara lain berkembang pesatnya industri dirgantara dan keberhasilan Indonesia berswasembada pangan. Hal ini menurutnya dapat menjadi bahan untuk bisa membentuk society 5.0 yang bisa menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di tahun 2045 mendatang.
Jadi menurutnya, tidak etis jika masyarakat menyalahkan Orde Baru semata misalnya dalam hal pengekangan berekspresi dan berpendapat. Sedianya, ujar Saddam, antar generasi – Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan hingga saat ini – mensintesiskan pemikiran untuk menjadikan Indonesia lebih baik.
“Artinya pelajaran kita kaum millenials hari ini ke depannya adalah mensintesiskan antara orde-orde baru yang sebelumnya yang menjadi hal yang positif ataupun negatif menjadi hal-hal yang visioner di masa yang akan datang, menjadi visioner untuk cita-cita di 2045. Artinya kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya orde baru dan orde lama itu salah, kemudian reformasi yang paling benar. Kalau misalnya reformasi itu buah atau hasil dari reformasi adalah opini soal hoax dan sebagainya, itu yang kemudian hari ini menjadi booming kita, reformasi adalah alat yang kemudian di dalamnya itu ada yang kita sebut peperangan asimetris, teknologi bermain, ada macam-macam, artinya kekuatan orde hari ini – yang kita sebut kaum millenials hari ini – lebih cenderung pada reformasi bagaimana ruang publik dibentuk bukan hanya didunia nyata tapi di dunia maya. Juga menjadi pengajaran kita untuk kemudian generasi baru yang bertumpu pada digitalisasi tapi yang lebih humanis, itu yang harus kita pikirkan bersama.”
LMND : Sistem Ekonomi & Politik Pemerintah Sekarang Sama dengan Orde Baru
Sementara itu, Ketum Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN LMND) Indrayani Abd. Rozak menyatakan, sebetulnya yang perlu diwaspadai dari jaman Orde Baru bukan hanya oknum-oknum jaman itu saja, seperti keluarga Cendana yang kembali berpolitik praktis dalam kehidupan politik di Indonesia, namun sistem ekonomi dan politik yang dianut pada masa itu, yang sama sekali tidak berpihak pada masyarakat.
Indrayani menambahkan meskipun terjadi perubahan rezim, sistem ekonomi dan politik pemerintah sekarang masih sama seperti jaman Orde Baru. Ia menyoroti bagaimana investasi asing masih dijadikan negara sebagai tonggak utama pertumbuhan perkonomian, padahal kekayaan SDA dan SDM mumpuni tersedia di negeri ini. Juga mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak masyarakat miskin tidak memperoleh akses pendidikan, dan juga kehidupan petani dan nelayan yang masih jauh dari kata sejahtera.
Sebagai generasi millenials, ujarnya, harus memperhatikan bagaimana sistem negara utamanya dalam hal ekonomi dan politik harus berpihak kepada rakyat, agar penindasan diberbagai bidang tidak terulang lagi, dan bukan terlalu fokus terhadap orang-orang yang berasal dari zaman orde baru tersebut.
“Ketika misalnya kita mahasiswa yang selalu ngomong bahwa kita ini agen pembawa perubahan, kelompok progresif millenials, ya kita harus lebih jeli terhadap persoalan pokok kerakyatan kita. Khususnya soal pendidikan karena pendidikan adalah hal utama, yang mendorong kemajuan sebuah negara dan bangsa. Yang juga menjadi pokok perhatian kita sebetulnya mungkin pernyataan ketika keluarga Soeharto pada saat ini memimpin atau terlibat, bertarung dalam politik praktis saya pikir itu adalah pernyataan yang tendensius, pernyataan yang sarat dengan kepentingan politik. Karena memang kita ingin mengkritik Orde Baru yang sesungguhnya dalam soal sistem ekonomi politik. Kita bukan mengkritik oknumnya, tetapi kita mengkritik sistem atau rezim yang sudah berkuasa selama 32 tahun membungkam rakyatnya, juga menindas secara ekonomi maupun politik.” [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia