OPINI – Dinamika politik Gorontalo seketika menggeliat saat pernyataan yang ditunggu banyak pihak akhirnya dijawab langsung seorang Rahmat Gobel, pengusaha nasional, yang saat ini juga menjabat Wakil Ketua DPR RI di senayan. Disela sela Rakorwil Partai Nasdem, RG mengumumkan akan maju sebagai calon Gubernur Gorontalo periode mendatang, hanya jika Provinsi penghasil Jagung ke-9 terbesar di Indonesia ini masih belum bisa menyelesaikan masalah kemiskinan yang dikalangan banyak pihak dianggap masalah paling fundamental suatu bangsa. Untuk diketahui, Gorontalo masuk dalam 5 Provinsi Termiskin dengan presentasi 15,59%, yang kembali naik setelah semester 1 presentasinya 15,22%. Peringkat pertama diambil oleh Provinsi Papua dengan presentase 26,5%, dan Provinsi Aceh yang berada dibawah Gorontalo dengan presentase 15,43% menurut data Badan Pusat Statistik. Artinya, dari data yang saya baca di laman BPS ini, secara persentase Provinsi Gorontalo memang masuk 5 besar daerah termiskin, namun secara jumlah penduduk miskin, Gorontalo tidak termasuk dalam 5 besar tersebut.
Memang, kemiskinan nampaknya menjadi salah satu isu “seksi” yang selalu mencuat tatkala menjelang perhelatan Politik. Kaum proletar ini menjadi komoditi politik untuk mencuri perhatian dan simpati publik. Cara ini secara umum selalu berhasil, bahwa kaum papa akan berpihak kepada calon penguasa yang dianggap merepresentasikan eksistensi mereka. Bahkan dibeberapa pertarungan politik nasional maupun daerah, penantang akan menguliti petahana lewat kegagalan dibidang pembangunan ekonomi, dan sebaliknya, petahana akan bertahan dengan cara memberikan sumber data lembaga yang tervalidasi tentang keberhasilan pembangunan yang disertai peningkatan ekonomi masyakarat, yang di klaim sebagai salah satu indikator keberhasilan pemerintah daerah yang dipimpin.
Konflik perebutan kekuasaan dua tokoh ini pun dimanfaatkan oleh banyak pihak. Tak ketinggalan partai2 lainnya yang “tampaknya” mulai merapat pada salah satu pihak dan ikut menikmati popularitas politik. Mereka ikut “berselancar diatas ombak”, menikmati coat tail effect dari pertarungan dua poros raksasa tersebut. Memang, kekuasaan adalah candu bagi banyak pihak. Padahal dalam kekuasaan, pada hakekatnya terdapat kemuliaan Tuhan yang dititipkan kepada penguasa. Dia haruslah bermanfaat untuk orang banyak seperti kisah ILOMATA WOPATO, atau bisa jadi malah memperkaya dirinya dan mendirikan oligarki baru.
Lagi-lagi, kaum proletar tadi terlewati, diangkat sebagai amunisi awal, kemudian dilupakan kembali saat pertarungan dalam narasi-narasi politik tengah berlangsung. Si miskin tidak mengerti tentang data statistik yang diperdebatkan. Mereka hanya tahu tentang apakah besok hari mereka masih bisa menunda pembayaran “koperasi simpan pinjam”, atau tentang dimana mendapatkan pinjaman untuk tunggakan spp anaknya yang sudah jatuh tempo dan harus segera dibayarkan. Bahkan saya iseng bertanya pada beberapa kerabat di Gorontalo. Jawabannya beda-beda, namun secara empiris mempunyai makna yang sama. Mereka menaruh asa kepada RG karena RG dianggap telah selesai dengan intrik pribadi. “Kitorang ini ponorima bantuan lo provinsi, tapi kitorang sayang ti pak rahmat. Yang ponting ti pak Rusli so 2x olo. Mamowali uwito.” ujar ka mani satu, paman kami yang berprofesi sebagai petani ini, yang dilanjutkan dengan pertanyaan “woluwo doyimu jahepomake to jakarta nunu?”. Tentu pernyataan dari beberapa orang yang saya tanyakan tsb tidak mewakili mayoritas masyarakat Gorontalo. Pertarungan antara dua kubu terkuat saat ini, tetap saja ditentukan oleh strategi lapangan yang nanti akan diterapkan oleh tim sukses masing-masing. Rumusnya selalu sama. Penantang akan menyerang, Petahana harus bertahan.
Pada ujung tulisan, tersisa beberapa pertanyaan yang menggelitik konstruksi berpikir saya terkait keadaan politik di daerah serambi Madinah saat ini.
Pertama, Apakah Rusli Habibie, Gubernur dua periode, nakhoda dan tokoh sentral di partai berlambang pohon beringin ini mampu memenangkan pertarungan bersama kemunculan tokoh baru yang diusungnya, dengan menggunakan mesin Golkar yang masih sangat mengakar dikalangan masyarakat umum Gorontalo?
Kedua, Apakah RG mampu mematahkan dominasi Partai Pohon Beringin yang telah mengakar selama puluhan tahun dengan kekuatan tokoh2 politik senior yang berada dalam barisannya?
Ketiga, Apakah mungkin tercipta kekuatan poros tengah (tokoh2 yang tidak terafiliasi konflik seperti ELNINO MOHI, PROF. NELSON POMALINGO, EDUART WOLOK, dsb) yang bisa menjadi kekuatan tambahan atau malah menjadi kuda hitam dalam pertarungan nanti?.
Jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya bisa terjawab, hanya apabila Gorontalo bisa keluar dari “daerah termiskin”. Mengingat narasi RG yang akan maju, hanya apabila Gorontalo masih berada dalam daftar provinsi termiskin. Dan bagaimana jika ternyata, Rusli Habibie berhasil menekan angka kemiskinan hingga masa berakhir jabatannya?. Tentunya ini bisa menjadi amunisi baru untuk kubu RH. RG akan gampang diserang balik jika memaksakan diri terus maju. Nama Rahmat Gobel yang begitu “wangi” dan sangat dihormati pada kebanyakan masyarakat umum bisa cedera. Bisikan lingkaran dalam yang memaksakan RG untuk bertarung pun patut diwaspadai. Tidak menutup kemungkinan, yang ingin berkuasa sebenarnya bukanlah seorang RG, melainkan lingkaran yang masih mempunyai dendam politik yang belum selesai. Pada akhirnya, hal ini tentu saja menunjukkan bahwa pertarungan politik ternyata hanya berkutat pada perebutan kekuasaan, bukan tentang kebenaran memberikan manfaat untuk orang banyak seperti cita-cita perjuangan para pendahulu.
Panjang umur perjuangan !! (**)