Pojok6.id (Opini) – Apakah perbuatan Habib Rizieq itu telah terbukti membuat berita bohong dan keonaran dalam masyarakat ? Bohong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan “tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya”, sedangkan Onar diartikan, “huru-hara dan gempar, kedua diartikan keributan dan kegaduhan”.
Apakah keonaran itu telah terjadi sejak Habib Rizieq menyatakan sehat-sehat, atau kasus ini dipaksakan untuk membungkam sikapnya yang sering mengkritik pemerintah untuk memperbaikan negeri terhadap kondisi yang selama ini sering beliau suarakan.
Bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan Habib Rizieq bersalah melanggar pasal 14 ayat 1 Undang-undang (UU) No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Rizieq dianggap melakukan tindak pidana berita bohong karena menyatakan kondisinya sehat meski terkonfirmasi Covid-19 saat dirawat di RS UMMI Bogor pada November 2020, menurut JPU, klaim Habib Rizieq itu menimbulkan keonaran di tengah masyarakat, dan Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara, lebih ringan 2 tahun dari tuntutan Jaksa (JPU).
Pidana penjara untuk yang sifatnya pelanggaran (Prokes Covid-19), bukan kejahatan, dan kasus ini dari perspektif hukum restoratif, bahwa vonis untuk Habib Rizieq menjadi kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang membebaskan narapidana yang sudah melewati setengah masa tahanan dan saat ini justru memasukkan orang-orang ke penjara. Hal yang menjadi polemik juga pertimbangan dari perspektif keadilan di mata publik, misalnya kasus Menko Bidang Perekonomian RI yang tidak memberikan informasi bahwa beliau positif Covid-19, padahal sebagai Menko ada beberapa agenda negara harus hadir di Istana, di kantor Menko dan acara Negara lainnya. Apakah ini akan dikenakan pasal yang sama dengan kasus Habib Rizieq ?
Bahwa rahasia kedokteran itu tidak berlaku pada situasi pandemik, bahkan untuk tokoh publik harus secara pribadi menyampaikan bahwa dia positif Covid-19 atas dasar moral dan transparansi dia bertanggung jawab melindungi orang lain. Apabila dia melakukan perbuatan berbohong dan tidak memberitahukan kepada orang lain dirinya positif Covid-19, maka unsur pidana bisa masuk karena orang lain yang tertular bisa sakit dan bisa juga meninggal.
Seharusnya rahasia kedokteran itu tidak berlaku pada situasi pandemi, bahkan untuk tokoh publik, dia harus secara pribadi menyampaikan kepada publik bahwa dia positif Covid-19. atas dasar moral, dia bertanggung jawab melindungi orang lain.
Denda dalam pelanggaran lebih memberikan efek jera dari pada Penjara ?
Sanksi denda ini sesuai dengan UU Wabah atau UU Karantina Kesehatan seperti terlihat dari rumusan Pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta”.
Dari ketetuan di atas Habib Rizieq telah dikenakkan sanksi denda Rp. 50 juta, sehingga kalaulah semua orang yang melakukan pelanggaran masuk Penjara, apakah daya tampung Lapas kita itu cukup ?, tidak boleh ada unsur main-main dalam hukum pidana, dan tidak boleh ada unsur politik dalam nasib orang yang menyangkut HAM-nya.
Disinilah ujian integritas Hakim dalam menjatuhkan putusan perkara pidana perlu menggunakan hati nurani untuk membebaskan, bukan untuk menghukum, karena menghukum itu harus berdasarkan Undang-undang, jangan Hakim hanya berkutat pada peraturan formal, menjadi corong UU, walaupun Hakim itu tidak mungkin memutus tanpa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang system kita anut.
Bahwa Pengadilan merupakan Lembaga untuk mencari Keadilan supaya seseorang merasa hukumannya Adil. Hakim itu wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang (UU) No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya putusan pengadilan itu dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan (Pasal 54 ayat 3).
Hal yang sama dituntut kepada Jaksa Penunut Umum (JPU), seperti perintah Pasal 8 ayat (4) tentang UU Kejaksaan RI yang menyebutkan, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.
Kemudian dalam Standar Operasional Prosedur (SOP), bahwa penanganan perkara tindak Pidana umum, harus berdasarkan atas asas kebenaran, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum (Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung RI No. Per-036/A/JA/09/2011), yang bertujuan untuk mewujudkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penanganan perkara (Pasal 3-nya).
Hilangnya nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat itu terlihat dari banyaknya tokoh hukum, politik, tokoh agama dan masyarakat biasa menyuarakan itu, bahkan saat putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 24 Juni 2021 massa masyarakat dari berbagai daerah disekitar DKI Jakarta dan Jawa Barat turun ke jalan sekitar Pengadilan yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu dengan hukum dan keadilan kita. (**)