OPINI – Di tahun 2020 ini masyarakat Kecamatan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan, masih terisolir dan di anak tirikan saat umur kemerdekaan Indonesia mengjinjak usia 75 tahun. Kesenjangan masyarakat masih jelas terlihat. Hal ini disebabkan kurang perhatiaanya pemerintah Kota Tikep selaku pemilik wilayah adminstratif, terhadap aspek-aspek pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Keterisoliran masyarakat Oba Selatan tak lain karena akses jalan yang menopang lalulintas barang dan jasa dalam kondisi sangat buruk dan memperihatinkan.
Ketidakharmonisan antara Kota Tidore Kepulauan dan Provinsi Maluku Utara tampak jelas terlihat, karena tidak adanya interaksi lintas birokrasi dalam memenuhi kebutuhan fasilitas infrastruktur jalan dan jembatan di Kecamatan Oba selatan. Hal ini semakin diperparah oleh kondisi jalan yang rusak berat, dan hampir tidak bisa di lalui. Secara garis besar, ruas Payahe-Dahepodo menghubungkan akses transportasi barang dan jasa antara dua Kabupaten/Kota, yakni Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Selatan.
Seperti kita ketahui, bahwa ruas jalan Payahe-Dahepodo di wilayah Kota Tidore Kepulauan ini menumpuk banyak masalah. Lemahnya pemeliharaan dan perhatian memperburuk kondisi jalan di ruas tersebut. Pemerintah cenderung keliru dalam melihat potensi permasalahan di ruas jalan itu, misal kondisi eksisting tanah dasar yang menjadi pemicu rusaknya ruas jalan tersebut. Beberapa kali sudah dilakukan peningkatan, namun bak menabur garam di tengah laut, kondisinya kembali rusak bahkan lebih parah. Hal ini dikarenakan perencanaan yang dilakukan tidak sesuai parametrik peninjauan dan pemeriksaan kondisi lapangan.
Ini tentu memerlukan perhatian khusus dari dinas PUPR, feel of engineer menjadi awal dalam mengindetifikasi masalah di lapangan. Di tahun 2019, Dinas PUPR Kota Tikep telah menganggarkan penanganan jalan Trans Maidi, namun lagi-lagi hanya bertahan beberapa bulan saja. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil menjadi penyebab utama kerusakan jalan.
Lemahnya Dinas PUPR Kota Tikep dalam mengidentifikasi masalah dan prodak perencanaan yang cenderung asal-asalan. Sepeti kita ketahui, dalam merencanakan perkerasaan jalan CBR atau kepadatan tanah dasar merupakan parametrik penting dalam keberhasilan merencanakan dan melaksanakan suatu pekerjaan jalan. Namun lagi-lagi pemerintah Kota Tikep menganggarkan pekerjaan sirtu sebagai solusi penanganan dengan alasan keterbatan dana.
Seharusnya Pemkot Tikep melalu Dinas PUPR lebih cermat dan mampu berinovasi dalam menangani kerusakan di ruas jalan tersebut. Ketidak stabilan tanah dasar seharusnya menjadi titik poin penting dalam memecahkan masalah ini. Bagaimana menyiasati keadaan keterbatasaan anggaran, namun mampu mengahadirkan konstruksi jalan yang berkualitas. Penerapan teknologi ramah lingkungan yang melibatkan sumber daya alam yang mampu diperbaharui secara terus menerus, seperti penggunaan cerucu dari bambu atau kayu yang ditanam vertikal pada spot yang berlumpur, dan menggunakan lapis separator dari geotextile dibawah timbunan, sehingga timbunan diatasnya mampu dipikul oleh tiang bambu yang ditanam secara vertikal.
Selain itu, ada metode lainnya yang dapat dilakukan, seperti pencampuran semen dan cairan aditif soil stabilitation pada tanah dasar mampu memperbaiki kepadatan (CBR) tanah dasar. Di beberapa pengujian yang dilakukan oleh PUSJATAN (Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan) langkah-langkah tersebut mampu memperbaiki stabilitas tanah yang buruk. Untuk itu kami mengharapkan Pemerintah Kota Tikep dalam hal ini Dinas PUPR mampu berinofasi agar dengan anggaran yang terbatas, mampu menghasilkan kunstruksi yang berkualitas.
Proyek sirtu yang demikian selain dinilai telah gagal, juga merupakan proyek yang konfesnioanal dan memerlukan inovasi terbaru, apalagi di tengah pesatnya perkembang teknologi infrastruktur saat ini. Jangan hanya menghadirkan konstruksi jalan yang cenderung merugikan masyarakat, secara garis besar pekerjaaan sirtu atau timbunan pada dasarnya menggunakan dua jenis timbunan, yaitu timbunan biasa dan timbunan pilihan. Kedua jenis pekerjaan tersebut diatur oleh spesifikasi dan Standar Nasional Indonesia (SNI), bahan timbunan yang digunakan sebaiknya tidak berplastis tinggi atau mengandung banyak material halus. Sedangkan timbunan pilihan harus terdiri dari bahan tanah atau batu yang memenuhi ketentuan dalam hal ini seluruh timbunan pilihan harus di uji sesuai dengan SNI 1744:2012. Yang menyebutkan, Timbunan pilihan memiliki CBR (Kepadatan) paling sedikit 10% setelah empat hari perendaman. Bila dipadatkan sampai 100% kepadatan kering maksimum.
Apabila merujuk pada spesifikasi yang ada maka, pekerjaan sirtu tersebut mampu bertahan lama. Pemilihan quary atau sumber bahan harus dilakukan dengan cermat dan mengikuti parametrik bahan dan melalui proses pengujian di laboraturium. (**)