Peran Panitia Seleksi dinilai Sebagai Poin Penting dalam Revisi UU BPK

Sidang Paripurna dengan agenda Penyampaian Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014 oleh BPK, di Gedung MPR DPR di Jakarta, 7 April 2014. (Foto: dok).

Jakarta – Saat ini pemerintah dan DPR RI tengah melakukan revisi Undang-Undang (UU) 15/2006 tentang Badan Pemerika Keuangan (BPK). Beberapa poin krusial menjadi sorotan, di antaranya mekanisme pemilihan anggota BPK diusulkan melalui panitia seleksi (). Beberapa pihak mengganggap hal ini jauh lebih baik ketimbang anggota BPK yang dipilih oleh DPR RI sebelumnya.

Pemerintah dan DPR RI saat ini tengah menggodok revisi UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ada beberapa poin yang diajukan pemerintah dalam hal revisi tersebut. Namun yang paling disoroti adalah tentang usulan pemilihan anggota BPK lewat panitia seleksi (pansel) yang terdiri dari pemerintah, akademisi dan masyarakat. Sebelumnya anggota BPK dipilih oleh DPRRI.

Mantan anggota BPK Ali Masykur Musa menyetujui wacana ini. Menurutnya, skema ini akan memperkuat posisi BPK sebagai lembaga negara yang melakukan check and balance. Selain itu, mekanisme pemilihan juga tidak boleh dimonopoli oleh pihak DPR, eksekutif, Presiden dan oleh BPK itu sendiri.

Read More
banner 300x250

Pansel sendiri merupakan wujud kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara. Sehingga, diharapkan model pemilihan ini akan lebih minim dari intervensi politik.

“Urusan siapa yang menjadi timsel, maka ini kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan, kepala negara. Bukan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Kalaupun nanti officialnyaditunjuk oleh Kemenkeu, itu bukan Menkeu selaku bendahara negara, tapi adalah Menkeu yang ditunjuk oleh kepala negara yang disebut oleh Presiden itu, baru dengan demikian anggota BPK itu seimbang check and balances dengan DPR, dengan Presiden, dan juga oleh BPK sendiri,” jelasnya.

Hal itu Ali sampaikan dalam Diskusi Publik Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU BPK, di Resto Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (1/11).

Ali menambahkan dirinya juga menyetujui revisi pasal 13 dalam ini tentang syarat calon anggota BPK yang menetapkan batas usia minimal 42 tahun dari sebelumnya 35 tahun dan maksimal 62 tahun. Menurutnya, usia 42 tahun merupakan usia yang matang dan juga profesional.

“Syarat calon, saya setuju. Tentang usia, dari 42 ke 62, itu pilihan. Tapi dari segi orang memeriksa keuangan negara, yang baik budgetingAPBN itu sekitar Rp2.200 triliun,ages ok. Belum lagi keuangan negara yang dpisahkan dalam hal ini APBN yang ekuitas dan jumlah asetnya lebih dari Rp8 triliun, maka dengan demikian seyogyanya mereka yang berkualitas dan telah matang. Sehingga angka 42 angka yang bisa kami pahami,” kata Ali.

Namun pengaturan baru tentang syarat keahlian dan pengalaman calon anggota BPK minimal 20 tahun di bidang ekonomi, hukum dan administrasi negara, kata Ali, harusnya bisa diturunkan menjadi 15 tahun. Dengan begitu calon anggota BPK tersebut mempunyai jangkauan profesional yang cukup untuk bisa mendaftar di lembaga auditor negara ini.

Para nara sumber dalam Diskusi Publik Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU BPK, di Resto Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 1 November 2018. (Foto: VOA/Ghita)

Selain itu, pemerintah juga mengusulkan agar setiap anggota BPK bersifat kolektif dan kolegial dalam membuat suatu keputusan. Artinya, hal apapun yang diputuskan oleh BPK akan bersifat musyawarah. Melihat usulan revisi tersebut, pakar hukum Haryo Budi Wibowo mengatakan usulan sistem kolektif dan kolegial itu memililki kelemahan.

Dia mencontohkan KPK juga memiliki sistem yang sama dalam hal pengambilan keputusan. Di mana semua lima pimpinan KPK menentukan sebuah keputusan, padahal hanya satu pimpinan KPK saja yang memahami duduk suatu permasalahan karena melakukan penyidikan. Itu, kata Haryo, dikhawatirkan akan berujung pada keputusan yang bukan substansial, melainkan ada kompromi politik di dalamnya.

Haryo mengatakan jika sistem kolektif dan kolegial dalam membuat keputusan dalam BPK sama seperti yang ada dalam KPK, maka seharusnya hal itu tidak dilakukan di BPK yang sedianya melakukan audit keuangan di berbagai lembaga negara di Indonesia.

“Sekarang ini di BPK, bahwa satu anggota tertentu membawahi pengawasan terhadap suatu keuangan negara tertentu, itulah kemudian menjadi tanggungjawabnya misalnya dalam mengaudit. Nah, kalau ini sifat kolegialnya ditafsirkan seperti KPK, khawatir kemudian anggota yang tidak kemudian mengawasi, atau tidak melakukan pemeriksaan terhadap suatu lembaga tertentu bisa mengambil suatu kebijakan, berarti kebijakannya didasari pada suatu pengetahuan yang tidak dipahami. Nah, ini berbahaya juga kalau sistem kolektif kolegialnya bisa dipersepsikan sama dengan KPK,” kata Haryo.

Maka dari itu, Pusat Kajian Keuangan Negara (Pusaka Negara) mengajak kalangan masyarakat sipil untuk mengawal proses revisi UU BPK yang dilakukan pemerintah dan DPR. Pasalnya sebagai lembaga yang melakukan audit keuangan negara, posisi BPK sangat penting dan strategis dalam menjaga keuangan negara, jangan sampai disalahgunakan berbagai pihak sehingga berujung kepada kerugian negara.

Direktur Eksekutif Pusaka Negara Prasetyo mengatakan orientasi revisi UU BPK harus tetap berpijak kepada paradigma penguatan kelembagaan dengan kewenangan yang proporsional agar marwah kemandirian, profesionalisme dan independensi lembaga pemeriksa negara ini tetap terjaga. [*]

Sumber :

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60

Related posts

banner 468x60