Pojok6.id (Opini) – AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) adalah analisis/dokumen Ilmiah yang bertujuan untuk kelayakan melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Pembangunan suatu proyek tanpa menggunakan AMDAL akan merugikan Rakyat (masyarakat umum) disekitar areal maupun yang melewati areal tersebut, seperti pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), dan pembangunan pindahnya Ibu Kota Negara, di Kecamatan Sepaku, Kab. Penajam Paser Utara, dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Pertanyaan besarnya, apakah Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) dan kepindahan Ibu Kota Negara (IKN) dan mega proyek lain itu telah memperhatikan dan memenuhi pesyaratan dokumen ilmiah (AMDAL) ? Kita ketahui bahwa setiap pembangunan mega proyek itu banyak penolakan masyarakat karena merugikan mereka, dikerjakan tanpa skala perioritas/kelayakan, berbiaya tinggi dan bukan menjadi hal yang mendesak untuk kepentingan rakyat.
AMDAL adalah analisis ilmiah yang meliputi berbagai macam faktor seperti biologi, fisika, kimia, hukum, sosial, ekonomi, agama dan budaya yang dilakukan secara menyeluruh. Alasan diperlukannya AMDAL adalah studi ilmiah untuk kelayakan melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan karena diharuskan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah untuk menjaga lingkungan hidup dari kerusakan, seperti pada Pasal 1, UU No.23 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sedangkan dalam Pasal 24 (ayat 1-6) disebutkan, dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, yang menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, sementara Pasal 37 menjelaskan, Ijin Usaha dapat dibatalkan apabila penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup.
Sedangkan dalam Pasal 24 (ayat 1-6) disebutkan, dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, yang menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, sementara Pasal 37 menjelaskan, Ijin Usaha dapat dibatalkan apabila penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup.
Sebagai contoh dialami pada pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang berjarak +/- 143 KM, masyarakat merasakan dampak negatifnya, seperti;
1. Penumpukan material pada bahu jalan yang menganggu fungsi drainase yang berdampak pada genangan air saat hujan;
2. Kemacetan panjang dari kendaraan yang disebabkan oleh jalan yang bergelombang
3. Bising akibat proyek konstruksi;
4. Keselamatan pengguna jalan yang merasa takut/was-was kejatuhan material berat pada saat melewati lokasi proyek;
5. Banyaknya rumah masyarakat yang rusak/retak-retak akibat dari pekerjaan berat dari proyek-proyek tersebut.
Proyek KCJB ini bermasalah karena dipaksakan sejak awal, menabrak aturan AMDAL dan penataan ruang yang tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota yang dilewati proyek. Kualitas dokumen AMDAL juga sangat lemah sehingga banyak terjadi masalah.dengan kurangnya sosialisasi / konsultasi publik dan dilakukan terburu-buru/singkat, sehingga Studi AMDAL tidak bermakna karena tidak menyasar seluruh unsur warga yang akan terkena dampak kerusakan Lingkungan.
Poyek ini terlihat misterius, dan banyak tolakan baik dari para Anggota DPR RI maupun masyarakat umum, utamanya para ekonom, berbiaya tinggi dan bukan menjadi hal yang mendesak untuk kepentingan rakyat.
Demikian pula wacana pindah Ibu Kota Negara (IKN) digaungkan seusai penetapan pemenang pemilihan presiden pada pertengahan tahun 2019, proses begitu cepat untuk sebuah rencana senilai ratusan triliun rupiah. Kemudian Presiden secara resmi meminta ijin dalam rapat paripurna MPR pada 16 Agustus, sebuah surat lalu dikirim ke pimpinan DPR dengan mengungkapkan sudah ada hasil kajian dan meminta dukungan.
Apakah kajian itu sudah memperhatikan terkait dengan Lingkungan Hidup dan Hutan, seperti yang ditentukan oleh UU, dalam:
1. Pasal 28H ayat 1 UUD 45 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”;
2. Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 menentukan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”;
3. Pasal 12 ayat 2 UU 32 Tahun 2009, dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: a. proses keberlanjutan dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat;
4. Pasal 65 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 mengatur, “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”;
5. UU 5 Tahun 1990 dan UU 41 Tahun 1999 diatur mengenai, “Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, serta dijaga daya dukungnya secara lestari.
Apakah pindah ibu kota negara itu sudah sesuai dengan ketentuan/aturan, dan apa mendesak untuk kepentingan rakyat, karena dengan terburu-buru bisa mengundang bencana finansial dan ekologis. Kita tentu tidak ingin seperti buruknya megaproyek sawah sejuta hektare di Kalimantan Tengah terulang. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) proyek itu baru dibuat enam bulan setelah proyek itu berjalan. Rekomendasi sempat dikeluarkan agar proyek ini dibatasi sekitar 100 ribu hektare saja, tapi tidak digubris, nilai ekonomi proyek raksasa senilai Rp 2,5 trilyun yang hasilnya sia-sia tidak kelihatan.
Pemindahan ibu kota ini nilainya diperkirakan Rp 485,2 triliun, sedihnya, proses yang tidak mengungkap secara detail kajian yang sudah dilakukan tentang kelayakan daerah yang dituju, irisan antara Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Publik buta tentang pertimbangan wilayah itu dipilih di banding alternatif lain yang pernah ada, pertimbangan yang kita dengar hanya sepi dari goyangan gempa tentu saja tak cukup, namun presentasi kajian dari Bappenas telah dilakukan dan diselesaikan pada 2017-2019 tanpa penjelasan rinci.
Pendapat sejumlah pakar dari beberapa disiplin ilmu yang mengajak diskusi secara terbuka dan fokus supaya tepat dalam pelaksanaannya tidak terakomodir, yang ada hanya terbatas pada rapat-rapat istana, sehingga menghasilkan keputusan yang misterius, semena-mena, jangan sampai ada faktor lain, seperti politik atau ekonomi untuk memperkaya kelompok tertentu, dalam pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) kita tercinta. (**)