Pengamat Pendidikan Indonesia : Kemampuan Literasi dan Karakter Peserta Didik Rendah

Kemampuan Literasi
Pengamat pendidikan, Ikhsyat Syukur Dalam sesi pertemuan dengan peserta Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Rabu 18 Mei 2022 (Foto: Istimewa).

Pojok6.id (Pendidikan) – Tidak ada soal rumit yang diberikan lembaga pendidikan terhadap peserta didik. Pertimbangannya, kondisi sulit akibat darurat Covid-19 telah mengakibatkan aktivitas belajar mengajar tidak maksimal. Satu diantara banyak soal ujian yang disiapkan dengan mudah ialah bahasa Inggris. Pernyataan itu diungkap saat ditanya bagaimana menyiapkan ujian penentu kululusan siswa ujian akhir sekolah .

Pertemuan jarak jauh tidak cukup. Para peserta didik alami penurunan semangat belajar. Di sekolah itu, darurat covid bukan masalah satu-satunya. Satuan pendidikan itu juga mengalami keterbatasan guru tenaga pengajar. Kabar baiknya pemerintah telah mengembalikan kebijakan kelulusan siswa berada di satuan pendidikan masing-masing.

“Soal ujian Bahasa Inggris dicarikan yang termudah berdasarkan kondisi. Guru bahasa Inggris disini hanya 1, soal bahasa Inggris dicarikan yang mudah menyesuaikan kondisi,” Ujar Wakil Kepala SMA Negeri 1 Paguat, Kecamatan Paguat Kabupaten Pohuwato, Haris Mohamad.

Read More
banner 300x250

Kabarnya, SMA Negeri 1 Paguat tengah bersiap menerapkan kurikulum merdeka sebagai pengganti kurikulum 2013. Prosesnya baru diajukan ke Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo pada tahun 2022.

Kurikulum merdeka secara bertahap gantikan kurikulum 2013 di masing-masing satuan Pendidikan. Pemerintah menilai kurikulum merdeka dengan merdeka belajar akan memungkinkan peserta didik lebih leluasa menentukan pilihan minat dan bakatnya. Sebaliknya guru pendidik diharapkan meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam segala aspek.

Rancangan kurikulum merdeka belajar oleh Kemendikbud memungkinkan penilaian dalam kemampuan minimum, meliputi literasi, numerasi, survei karakter dan survei lingkungan belajar lebih sederhana. Singkatnya, seluruh penilaian peserta didik diserahkan ke sekolah. Pemerintah merubah kurikulum setelah mempertimbangkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) yang rendah 2018 yang dirilis serentak pada hari Selasa, 3 Desember 2019.

Tidak ada Ujian Nasional pada jenjang SD SMP hingga SMA/SMK dalam kurikulum meredeka. Kelulusan peserta didik dikembalikan pada masing-masing penilaian lembaga pendidikan sejak Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, nomor 1 tahun 2021 dikeluarkan Februari 2021.

Dalam SE menerangkan secara jelas bahwa nilai kelulusan mengacu pada: laporan hasil belajar siswa setiap semester, memperoleh nilai sikap perilaku minimal baik, mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan Pendidikan.

turut mengamati perkembangan . Dalam sesi pertemuan dengan peserta Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Rabu (18/5/2022), dirinya menyampaikan bahwa telah terjadi kesenjangan pendidikan di Pulau Jawa dan daerah-daerah luar pulau Jawa.

“Yang menarik terjadi kesenjangan satuan pendidikan Jawa dan luar Jawa dan sangat ekstrim. Sekolah terbaik diluar Jawa ternyata nilainya atau posisinya itu dibawah sekolah terjelek sekolah di Jawa,” Ungkapnya.

Ia mengungkap bahwa data  Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan Indonesia masih berada jauh dari beberapa negara lainnya. Posisi 3 terbawah. PISA atau Program Penilaian Pelajar Internasional merupakan penilaian terhadap anak usia sekolah usia 15 tahun pada bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca.

“Tahun 2015 dari 70 negara yang mengikutinya assesment, posisi kita ada di 62. Tiga tahutahun kemudian, PISA terakhir yang dilakukan dari 78 kita ada di 71. Kemampuan matematika siswa kita berusia 15 tahun kita 73 dari 78 negara, literasi atau kemampuan membaca kita nomor 74 dari 78. 10 besar dari bawah,” ungkap Ikhsyat dalam memaparkan data yang bersumber dari katada.co.id dan akurat akurat.co.

Ia pun mencoba riset kecil. Di kampung halamannya Sumatera Barat. Ikhsyat melakukan uji sampel beberapa sekolah dengan menyebar kuisioner secara acak kepada lembaga pendidikan yang ada di wilayah itu. Isian kuisioner untuk mengukur perkembangan pembelajaran anak didik saat covid maupun setelahnya.

“Bulan lalu saya kirim pertanyaan sebagai kuesioner random ke beberapa guru di 9 kabupaten dari 19 yang ada di Sumatera Barat, gurunya saya minta, ini gimana, bagaimana perkembangannya pas covid dan setelah itu. Terjadi, jadi anak-anak gagal paham, terlebih lagi dirasakan anak kelas 1 SMA. Kesimpulan sementara daripada guru itu adalah konsep atau pemahaman yang terjadi di level SMP jauh dari memuaskan,” Urainya.

“Minat belajar menurun drastis, ini pengaruh belajar jarak jauh. Anak-anak itu prinsipnya sederhana apapun hasinya nanti ketika dievaluasi ditengah semester atau akhir semester mereka akan naik kelas tetap,” Imbuhnya

Umumnya pencapaian anak didik menentukan tanggapan publik terhadap kualitas sekolah. Hasil riset kecil itu pun menunjukan bahwa sekolah memilih menaikkan atau meluluskan siswa dengan dalih menjaga marwah nama baik sekolah dan memastikan kelanjutan masa depan peserta didik itu sendiri.

“Maaf, kita harus jujur. Beginilah pendidikan kita. Jelek atau buruk, sekolah tidak berani untuk menghukum yang jelek tetap jelek dan tidak dinaikkan. Karena khawatir nilai sekolah akan turun, akreditasi sekolah akan turun. Dan guru atau kepala sekolah dinilai tidak mampu mengajar atau mengelola sekolah,” Ungkap Ikhsyat.

Riset sederhana itu juga menemukan laporan para guru-guru di sekolah yang mengungkap bahwa, peserta didik saat ini kurang memiliki sikap sopan santun atau tidak beradab. Pada akhirnya, rendahnya kualitas pendidikan generasi usia sekolah Indonesia saat ini, menurut dia semakin mengkhawatirkan.

Rendahnya 3 kemampuan dasar itu juga berimbas terhadap kemampuan menganalisa sebuah informasi. Ia membayangkan salah satu dampak yaitu generasi penerus bangsa akan mudah termakan isu negatif. Dampak yang akan berpengaruh pada tujuan pemerintah mencapai generasi emas 2045.

“Gampang sekali termakan berita-berita hoax. Kita bisa bayangkan kalau makan sampah seperti apa nanti hasilnya,” Imbuhnya.(Nal)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60