“Sebenarnya komponen terbanyak itu pelatihan, kalau untuk pelatihan APBN mengalokasikan kemudian APBD juga di dorong saya kira itu lebih solutif ketimbang dengan KUR, karena dengan KUR ini hanya menunda masalah. Makanya juga serapan lima persen ya tidak mengherankan, karena teman-teman juga tidak mau terjerat gali lobang tutup lobang,” tuturnya.
Selain kendala beban biaya penempatan, masalah lain yang kerap menghambat para pekerja migran untuk berangkat adalah masih banyak CPMI yang mendaftar ke negara-negara yang tidak resmi membuka penempatan bagi TKI. Dengan begitu potensi unprosedural, atau bahkan human trafficking juga cukup tinggi. Selain itu lesunya perekonomian negara penempatan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masih banyak negara yang belum membuka lowongan kerja bagi para CPMI tersebut.
“Baru 10 persen dari angka normal yang bisa berangkat. Jadi memang masih sangat rendah sekali dibandingkan pada masa normal. Kedua, negara-negara utama itu belum membuka. Misalnya Malaysia aja kita kan ribut, Singapura juga belum terbuka, Saudi Arabia juga belum, jadi yang buka juga negara-negara yang selama ini belum menjadi tujuan utama pekerja migran kita misalnya Turki. Mungkin negara tujuan utama yang baru buka, yaitu Hong Kong dan Taiwan, dan mereka juga memberlakukan biaya karantina yang tinggi,” pungkasnya. [voa]