PALU – Berbagai organisasi wartawan di Palu Sulawesi Tengah mengecam keras tindakan oknum Polisi di Palu yang merampas dan menghapus video rekaman jurnalis TVRI, yang sedang meliput pengamanan demonstrasi mahasiswa yang diwarnai kericuhan. Sementara itu, Komite Keselamatan Jurnalis menyebutkan selain di Palu, kasus kekerasan juga dialami tujuh wartawan di Makassar dan di Jakarta.
Berbagai organisasi wartawan di Palu Sulawesi mengecam keras tindakan seorang oknum anggota Polisi pada Kepolisian Resort Kota Palu yang melakukan perampasan kamera seorang jurnalis TVRI saat meliput aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa dari berbagai Universitas pada Rabu, 25 September 2019.
Kepada VOA, Ryan Saputra,jurnalis TVRI Sulawesi Tengah itu mengatakan kameranya dirampas oleh seorang oknum anggota Polisi berpakaian biasa ketika ia sedang merekam video upaya paksa pembubaran massa demonstran oleh Polisi. Kamera itu baru dapat diambil kembali setengah jam kemudian, namun seluruh file yang berisi gambar-gambar video telah terhapus seluruhnya.
“Jadi tiba-tiba di belakang saya itu, polisi itu tiba-tiba langsung tarik saya bilang ‘bawa kemari kameramu itu, hapus itu, hapus itu,” kata Riyan di Mapolda Sulawesi Tengah.
Muhammad Iqbal, ketua AJI Kota Palu dalam pertemuan mediasi di Polda Sulawesi Tengah (25/9) yang menghadirkan pejabat Kepolisian Resort Palu, Polda Sulawesi Tengah, TVRI Palu, dan puluhan wartawan di Kota Palu menyesalkan terus berulangnya kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan di Kota Palu, yang justru di lakukan oleh aparat. Mediasi itu dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan itu secara kekeluargaan.
“Teman-teman secara manusia memaafkan ini, tapi apakah kita akan terus mengalami seperti ini lagi, kita maafkan terus kemudian besok ada aksi, terjadi lagi, kita maafkan lagi. Ini sudah kesekian kalinya loh Pak. Angka kekerasan terhadap jurnalis di Sulawesi Tengah itu tinggi dan sembilan puluh persen pelakunya adalah aparat.”
Ketua AJI Kota Palu itu menegaskan penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Palu tidak boleh lagi selesai sebatas pada pemberian maaf melalui upaya mediasi, karena dalam kenyataannya kekerasan dan menghalang-halangi kerja jurnalistik masih juga dialami oleh wartawan di wilayah itu.
Kepala Kepolisian Resort Palu, AKBP Mujianto meminta maaf atas perbuatan anggotanya itu. Ia mengatakan pihaknya sudah seringkali mengingatkan personel aparat kepolisian Resort Palu yang dipimpinnya untuk memahami tugas-tugas wartawan, ia mengatakan ia dapat memahami bila kasus itu akan di laporkan untuk di proses secara hukum atas dugaan pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang PERS.
“Dari anggota Polres Palu sebanyak 789 orang mungkin ada yang paham ada, mungkin juga ada yang tidak. Sekali lagi saya minta maaf, namanya saya minta maaf mau tidak diterima yah tidak apa-apa, diterima ya syukur alhamdulillah, misalnya haknya dari rekan-rekan sekalian untuk dilaporkan dinaikkan saya pasrah saja.”
Agus Kismadi, Kepala Stasiun Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Sulawesi Tengah dalam pertemuan itu berharap kasus dapat menjadi pembelajaran agarpada masa yang akan datang tidak ada lagi kasus kekerasan terhadap wartawan yang justru dilakukan oleh aparat keamanan di Sulawesi Tengah.
“Jadi teman-teman lebih baik kita memaafkan, jadi atas nama lembaga TVRI terimakasih kepada teman semuanya, sudah memberikan semangat dan dukungan, saya berterimakasih sekali. Bukan berarti kita ini menyerah di sini tapi harapan kami ini adalah yang terakhir.”
Agus Kismadi menyatakan pihaknya akan menginisiasi sebuah kegiatan melibatkan organisasi wartawan dan para pihak terkait untuk membahas undang-undang nomor 40 tahun 2019 Tentang PERS. Melalui kegiatan itu diharapkan akan semakin meningkatkan pemahaman berbagai pihak terkait kebebasan pers sehingga kasus kekerasan terhadap wartawan tidak lagi terjadi.
Kasus kekerasan terhadap Jurnalis juga dilaporkan terjadi di Makassar dan Jakarta
Selain di Palu, kasus kekerasan terhadap wartawan juga dilaporkan terjadi di sejumlah tempat lainnya pada waktu yang berbeda. Komite Keselamatan Jurnalis dalam siaran pers (25/9) menyebutkan telah menerima laporan serangkaian kasus kekerasan terhadap tujuh jurnalis yang meliput aksi penolakan terkait pasal-pasal bermasalah di RKUHP dan menolak pelemahan KPK, serta membatalkan RUU bermasalah lainnya seperti RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan di Makassar dan di Jakarta pada 24 September 2019.
Kekerasan yang dialami berupa intimidasi, penganiayaan dan pemaksaan untuk menghapus rekaman gambar kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap demonstran.
Sasmito Madrim selaku juru bicara Komite keselamatan jurnalis mengatakan pihaknya mendesak agar kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis itu.
“Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi. Terlebih kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis. Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat sedang meliput. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers,” kata Sasmito saat dihubungi dari Palu.
Koordinator bidang advokasi AJI Indonesia itu juga mengingatkan kekerasan yang dilakukan polisi dan massa merupakan tindakan pidana sebagaimana dalam UU Nomor 40 tentang Pers, Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
Setiap jurnalis memiliki hak untuk mencari, menerima, mengelola, dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin secara tegas dalam Pasal 4 ayat (3) UU RI No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Khususnya terkait peliputan yang menyangkut kepentingan umum sebagai bentuk kontrol publik. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia