Pasuruan – Puluhan anak suku Tengger, di Kabupaten Pasuruan, kesulitan mengikuti pelajaran bahkan ada yang putus sekolah, karena jarak sekolah cukup jauh dan sulit dijangkau dari dusun mereka yang terpencil. Namun Sekolah Alam Anak Tenger yang selesai dibangun, memberikan harapan baru akan masa depan anak-anak suku Tengger di kawasan Pegunungan Bromo dan Tengger ini.
Tiupan alat musik terompet yang harmonis dengan gamelan khas suku Tengger mengiringi peresmian dan penyerahan Sekolah Alam Anak Tengger di Dusun Ketuwon, Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Sejumlah anak perempuan berpakaian kebaya khas Tengger serta anak laki-laki berbeskap hitam dengan lilitan ikat kepala atau udeng, memenuhi jalan di samping sekolah yang dibangun oleh Yayasan Arek Lintang (ALIT) bersama sejumlah donatur.
Usai penyerahan dari Yayasan ALIT kepada Kepala Desa Ngadiwono, anak-anak memasuki bangunan sekolah mereka yang baru, yang terdiri dari 2 kelas dan 1 kamar mandi. Putri Erika, salah satu siswi kelas 2 SD, mengaku senang dengan adanya sekolah baru di kampungnya. Selama ini ia harus sekolah di Desa Banyumeneng, yang jaraknya cukup jauh dari rumah dan melewati hutan serta sungai.
“Senang, karena dekat. Selama ini sekolahnya jauh, di Banyumeneng, jaraknya sekitar empat kilometer,” kata Putri Erika.
Rasa syukur juga diungkapkan Naning, salah satu orang tua murid. Naning berterima kasih telah dibangunkan gedung sekolah dan tempat berkegiatan di dusunnya, sehingga ia tidak perlu lagi kesulitan mengantar anaknya sekolah.
“Senang, karena ada kegiatan di kampung sendiri. Terlalu jauh kalau ada di Banyumeneng. Banyak terima kasih di sini ada sekolahan.”
Kepala Desa Ngadiwono, Atim Priyono mengatakan, kondisi akses jalan yang berbatu dengan letak desa yang cukup terpencil, membuat anak-anak sering tidak masuk sekolah. Keberadaan gedung sekolah yang baru didirikan ini dirasakan sangat membantu orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah agar tidak tertinggal pendidikannya daripada anak-anak di dusun dan desa lain.
“Ada sebagian yang ikut kegiatan sekolah di SDN Ngadiwono, tapi ada sebagian juga yang tidak mau untuk belajar karena faktor kondisi akses jalan tersebut. Dari Ngadiwono ke Ketuwon tujuh kilometer, tapi untuk Ketuwon ke Ngadiwono lima kilometer, dan jalannya njenengan (Anda) bisa lihat sendiri kondisi di lapangan, faktanya seperti itu (rusak), kami tidak mengada-ada, dan memang berat dan sulit dirasakan untuk anak-anak di masa sekarang untuk bisa sampai ke lokasi sekolah. Apalagi kalau kondisinya seperti ini, musim hujan, orang tua harus mengawal terus, untuk kegiatan anak, seringkali bolos,” jelas Atim Priyono.
Menurut Ahmad Nur Hidayat, salah satu warga setempat, sebelum ada gedung Sekolah Alam Anak Tengger ini, sekitar 40 anak di Dusun Ketuwon, Desa Ngadiwono, harus belajar bersama di salah satu ruang kecil di balai dusun. Bahkan saat balai dusun direnovasi, anak-anak belajar maupun melakukan aktivitas seni dan budaya di sanggar Pura Kamandalu, yang ada di dusun mereka.
“Seni budaya, menari, dan slompretan itu. Kalau untuk literasi di bawah, di balai dusun itu ada taman baca, jadi sementara dulu kita belum ada gedung kita pakai di balai dusun situ. Dulu pernah waktu balai dusun bocor ya, jadi masih belum direnovasi itu, kalau belajar di sini, di sanggar Pura Kamandalu,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT), Yuliati Umrah mengungkapkan, Dusun Ketuwon di Desa Ngadiwono dipilih untuk lokasi Sekolah Alam Anak Tengger, karena lokasinya yang masih sulit dijangkau serta fasilitas dan sarana yang masih minim dibandingkan dusun atau desa lain. Keberadaan sekolah ini diharapkan dapat mengurangi angka anak putus sekolah, dan angka pernikahan dini pada anak.
“Dari observasi di beberapa dusun di wilayah Kecamatan Tosari, ini salah satu yang paling sulit, karena fasilitas yang ada di Tosari ini kan ke sini jauh banget, terus waktu itu jalan belum dibangun aksesnya, ya baru ketemu pak Kades ini terus jalan dibangun dari dana Desa. Waktu kita turun itu belum ada dana desa, kondisinya masih parah, ketika program dana desa itu dari pak Jokowi, bapak jadi Kades, ini mulai dibangun. Nah, ini memungkinkan untuk orang luar bisa membantu, makanya sekolah kita pilih di sini, dari aspek luar bisa masuk membantu, anak-anak tidak harus ke atas (Banyumeneng) dulu,” kata Yuliati Umrah.
Selama dua tahun ke depan, Yayasan ALIT akan tetap mendampingi dan mendukung pembiayaan tiga orang relawan guru, sambil mendorong Kepala Desa memproses syarat-syarat administrasi pendirian sekolah ke Dinas Pendidikan setempat. Dengan adanya sekolah baru ini, Yuliati Umrah berharap anak-anak tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke sekolah, sehingga anak Tengger juga dapat tersenyum karena masa depannya kembali terbuka.
“Kalau dari Dinas Pendidikan kan seharusnya ada pendidikan luar sekolah (PLS) yang mengajar, tapi ALIT tetap akan support untuk biaya relawan guru SD sampai dua tahun ke depan, ya relawan guru untuk SD sampai 2 tahun,” kata Yuliati Umrah.
Kasus anak putus sekolah banyak terjadi di masyarakat suku Tengger. Di Dusun Ketuwon, hampir separuh anak-anak usia sekolah berhenti di kls 2 atau 3. Dari total 71 anak, yang bertahan sekolah sejumlah 40 anak. Sisanya putus sekolah dan hanya lulusan Sekolah Dasar.
Di Desa Wirogati, sebagian penduduknya hanya lulusan SD dan putus SD. Sama dengan di Ketuwon, di Wirogati tidak terdapat gedung SD. Sekolah terdekat ada di SD Inpres Pandansari. Guru jarang datang, sekolah sering kosong. Jarak antar rumah ke sekolah terlalu jauh dan akses sangat buruk. ALIT mendata pada tahun 2015, di Pandansari dan Wirogati terdapat 83 anak usia antara7-13 tahun, hanya 10 anak yang bertahan sekolah hingga kelas 6 SD, sisanya putus sekolah dan tidak disarankan sekolah.
Akibat tidak sekolah, banyak anak usia remaja telah dinikahkan. Warga yang saat ini berusia dewasa, sebelumnya menikah usia muda. Dari 100 perempuan yang didata pada kurun waktu 2009-2015, diperkirakan 50 persennya menikah pada usia 15 tahun. Di Desa Andonosari juga banyak kasus pernikahan dini, terutama di Dusun Besuki dan Sekar Kuning, yang rata-rata menikah usia remaja atau setara SMP.
Suku Tengger merupakan suku asli yangg tinggal di lereng pegunungan Tengger, di kawasan Pegunungan Bromo, Tengger, Semeru. Jumlah mereka semakin terdesak oleh modernisasi dan pariwisata. Suku Tengger awalnya banyak yang beragama Hindu, kemudian sebagian diantaranya telah memeluk agama Islam.
Anak-anak suku Tengger di pedalaman, khususnya yang beragama Hindu kesulitan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keyakinan mereka, bahkan sekolah berbasis agama Hindu hampir tidak ada di lingkungan tempat tinggalnya. Kebudayaan dan adat kebiasaan masyarakat Tengger juga semakin tergerus oleh zaman.
Hadirnya Sekolah Alam Anak Tengger ini ingin memberikan rasa Keadilan Sosial bagi anak suku Tengger, seperti anak-anak pada umumnya. Melalui sekolah atau pendidikan, diharapkan anak-anak suku Tengger tidak tertinggal dari anak-anak lainnya. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia